kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dampak kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU disebut tidak optimal


Kamis, 10 Juni 2021 / 21:32 WIB
Dampak kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU disebut tidak optimal


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah lebih dari setahun diberlakukan oleh pemerintah, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU (Million British Thermal Unit) kepada 7 industri tertentu dinilai belum memberikan dampak yang signifikan. 

“Ini sudah setahun, apa yang dikerjakan, mana hasilnya. Kita harus ekspansi, kalau enggak kita balik lagi jalani bisnis as usual,” ujar Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia Achmad Widjaja dalam keterangannya, Rabu (9/6/).

Kebijakan harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Baca Juga: Pemerintah akui subsidi gas LPG 3 kg dan subsidi listrik tidak tepat sasaran

Dalam Kepmen 89 ESDM itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus US$ 6 per MMBTU yakni Industri Pupuk, Petrokimia, Oleokimia, Baja, Keramik, Kaca dan Industri Sarung Tangan Karet. Berdasarkan aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.

Kebijakan ini dirasa belum terlihat ketujuh industri itu dalam melakukan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan.  Evaluasi ini perlu dilakukan sesegera mungkin dan tidak perlu menunggu sampai tahun 2024.

Pasalnya jika kebijakan ini diberlakukan terlalu lama tanpa memberi dampak ekonomi yang sepadan, maka negara akan semakin dirugikan. Dengan penetapan harga USD6 per MMBTU pendapatan pemerintah dari penjualan gas menurun drastis.

Untuk mengurangi potensi kerugian negara, Achmad meminta Kementerian ESDM mengawasi industri-industri mana saja yang sudah memanfaatkan fasilitas gas murah tersebut dan mana yang belum.

Sekaligus memastikan bahwa penyerapannya optimal dan merata, terhadap tujuh sektor industri yang termaksud dalam aturan. “Menteri Perindustrian harus tagih ke para industriawan, mana programnya untuk inovasi dan daya saing,” kata Achmad.

Selain Kementerian Perindustrian, stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan juga perlu duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini.

Baca Juga: Melebih target, Pertagas catat laba bersih US$ 106,6 juta di tahun 2020

Senada, Pengamat Energi Mamit Setiawan mengemukakan agar kebijakan ini untuk segera dievaluasi. "Saya tidak melihat ada multiplier effect dari kebijakan harga gas ini. Yang terjadi justru beban yang ditanggung badan usaha menjadi semakin besar," ujarnya, Kamis (10/6).

Mamit menambahkan, untuk mengukur dampak dari kebijakan tarif ini sebenarnya mudah. Hal itu dapat diukur dari kinerja produk ketujuh industri yang mendapat perlakuan khusus tersebut.

"Sehingga pemerintah perlu menagih kepada tujuh industri ini apakah target yang diinginkan pemerintah sudah tercapai atau belum. Apalagi kabarnya kebijakan ini bakal di perluas ke industri lain. Jika itu terjadi akan sangat merugikan negara, karena dampak dari kebijakan sebelumnya saja tidak jelas hasilnya," tegas Mamit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×