Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memaparkan sederet kendala yang dirasakan pelaku usaha dalam pengembangan energi terbarukan. Hambatan ini yang membuat bauran energi terbarukan masih jauh dari target bauran energi nasional yang dipatok 23% pada 2025.
Wakil Ketua Umum Kadin bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Halim Kalla menyampaikan, hingga tahun 2019 realisasi bauran energi terbarukan masih 9,15%. Ada sejumlah kendala yang membuat realisasi bauran energi terbarukan masih mini. Halim bilang, regulasi yang berubah-ubah menjadi kendala utamanya.
Menurutnya, hal ini memperburuk iklim investasi di sektor energi hijau."Karena tidak adanya payung hukum yang lebih tinggi dari (Peraturan) Menteri dalam mendorong energi terbarukan," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi VII DPR RI, Senin (21/9).
Halim bahkan menilai, kondisi ini sebagai wujud kurangnya komitmen pemerintah dalam mencapai target bauran energi terbarukan. "Sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak mendukung target," katanya.
Baca Juga: Keberadaan nuklir di RUU EBT mendapat tentangan dari sejumlah pihak
Rendahnya komitmen tersebut antara lain dapat dilihat dari penetapan harga energi terbarukan, yang dinilai tidak mempertimbangkan tingkat pengembalian investasi yang layak bagi pelaku usaha. Halim menegaskan, hal ini berdampak langsung terhadap minat pelaku usaha untuk menanamkan investasi di sektor energi terbarukan.
Lebih lanjut, Halim menyampaikan, pelaku usaha melihat insentif yang diberikan pemerintah kurang menarik. Misalnya, pemerian tax holiday dan tax allowance yang hanya 5 tahun. "Padahal 5 tahun pertama setelah proyek, masih cash flow negarif," sebutnya.
Tak sampai di situ, Halim mengungkapkan kendala pengembangan energi terbarukan lainnya ialah dari sisi pendanaan. Sebab, perbankan nasional tidak memberikan perhatian khusus untuk pembiayaan energi terbarukan.
"Meskipun mereka paham bahwa energi terbarukan merupakan sektor yang akan menjadi tumpuan pembangunan sekarang dan di masa depan," kata Halim.
Tidak tersedianya pembiayaan proyek (project finance) untuk energi terbarukan terjadi karena Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) antara PT PLN (Persero) dengan pengembang dinilai tidak bankable. Alhasil, pelaku usaha harus menyediakan jaminan tambahan selain proyek, yang mana kondisi ini dirasa membebani pelaku usaha.
Baca Juga: Pengamat soroti urgensi pembentukan BUMN Khusus untuk pengembangan PLTN di RUU EBT