kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat soroti urgensi pembentukan BUMN Khusus untuk pengembangan PLTN di RUU EBT


Jumat, 18 September 2020 / 19:22 WIB
Pengamat soroti urgensi pembentukan BUMN Khusus untuk pengembangan PLTN di RUU EBT
ILUSTRASI. PLTN


Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR RI menimbulkan tanda tanya, terutama terkait sektor nuklir yang termasuk dalam energi baru.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyoroti isi pasal 7 ayat 3 RUU EBT yang menjelaskan bahwa pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK).

Menurutnya, di negara-negara lain, pembangunan PLTN biasanya dilakukan oleh badan usaha swasta atau perusahaan pembangkit listrik. Kalau BUMNK membangun PLTN, artinya segala risiko akan menjadi tanggung jawab pemerintah dan hal itu dinilai tidak tepat.

“Mengapa harus dibentuk BUMN? Biarkan saja swasta yang menanggung risiko tersebut dan tidak perlu negara yang menanggung risiko usaha dan operasi PLTN,” ungkapnya, Jumat (18/9).

Baca Juga: ThorCon International kritik beberapa pasal terkait sektor nuklir di RUU EBT

Secara umum, Fabby juga menilai bahwa pengaturan soal PLTN seharusnya tidak dimasukkan ke dalam RUU EBT. Pasalnya, pemanfaatan, pengelolaan, dan pengusahaan energi nuklir sudah diatur secara eksklusif di UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

Ia juga tidak melihat adanya urgensi membangun PLTN di Indonesia untuk saat ini. Sebab, teknologi PLTN sendiri masih jadi kontroversi, mahal, berisiko tinggi, dan perlu persetujuan masyarakat. “Selain itu, sumber daya energi terbarukan lebih dari cukup untuk mensubtitusi PLTN dengan risiko yang lebih rendah dan lebih mendukung ketahanan energi nasional,” jelasnya.

Lantas, Fabby menilai bahwa PLTN seharusnya tetap menjadi pilihan terakhir dalam pengembangan energi nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 yang merupakan turunan dari UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Kembali lagi, salah satu alasan di balik penempatan nuklir sebagai opsi terakhir karena pertimbangan teknologi yang berisiko tinggi, mahal, dan sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan di Indonesia yang sudah dikenal kaya dengan sumber daya energi terbarukan.

Selanjutnya: Pengembang PLTN menilai ada pasal selundupan dalam RUU EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×