kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,72   -19,77   -2.14%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Keberadaan nuklir di RUU EBT mendapat tentangan dari sejumlah pihak


Jumat, 18 September 2020 / 19:39 WIB
Keberadaan nuklir di RUU EBT mendapat tentangan dari sejumlah pihak
ILUSTRASI. Turbin pembangkit listrik tenaga nuklir


Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak menilai sektor energi nuklir seharusnya tidak dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, apabila unsur tenaga nuklir dimasukkan ke dalam RUU EBT, maka hal ini akan membuat beleid tersebut tidak fokus tujuannya.

“Ini jadi tidak fokus, mau kembangkan nuklir atau EBT. Masing-masing punya poin yang berbeda jadi kalau digabung agak aneh,” terangnya ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (18/9).

Menurutnya, RUU EBT harusnya diarahkan dengan tujuan pengembangan energi terbarukan yang bersifat ramah lingkungan. Apalagi, Indonesia punya target pencapaian bauran EBT sebanyak 23% di tahun 2025 mendatang.

Baca Juga: ThorCon International kritik beberapa pasal terkait sektor nuklir di RUU EBT

Di negara-negara lain pun, UU yang sama jelas-jelas mengatur bagaimana pemanfaatan energi terbarukan atau renewable energy secara optimal.

Di sisi lain, nuklir bukanlah energi yang bersifat terbarukan. Sumber dayanya pun sebenarnya relatif terbatas di Indonesia. “Kalau sampai bahan baku nuklir diimpor, apa bedanya dengan energi fosil yang ada sekarang,” imbuh Surya Darma.

Ketika ditanya adanya pasal 7 ayat 3 yang mengatur bahwa Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) akan membangun dan mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Surya Darma enggan berkomentar. Ia hanya bilang, badan-badan perwakilan negara sebenarnya sudah ada berdasarkan Undang-Undang Ketenaganukliran atau UU No. 10 Tahun 1997.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa juga menilai, pengaturan soal PLTN seharusnya tidak dimasukkan ke dalam RUU EBT.

Ia juga tidak melihat adanya urgensi membangun PLTN di Indonesia untuk saat ini. Sebab, teknologi PLTN sendiri masih jadi kontroversi, mahal, berisiko tinggi, dan perlu persetujuan masyarakat. “Selain itu, sumber daya energi terbarukan lebih dari cukup untuk mensubtitusi PLTN dengan risiko yang lebih rendah dan lebih mendukung ketahanan energi nasional,” jelasnya, hari ini (18/9).

Lantas, Fabby menilai bahwa PLTN seharusnya tetap menjadi pilihan terakhir dalam pengembangan energi nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 yang merupakan turunan dari UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Baca Juga: Karpet merah pengembangan pembangkit nuklir dalam RUU EBT

Kembali lagi, salah satu alasan di balik penempatan nuklir sebagai opsi terakhir karena pertimbangan teknologi yang berisiko tinggi, mahal, dan sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan di Indonesia yang sudah dikenal kaya dengan sumber daya energi terbarukan.

Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya enggan menanggapi pertanyaan masalah pasal-pasal mengenai nuklir di RUU EBT. “Mohon maaf saya belum bisa menanggapi,” tukasnya, hari ini.

Selanjutnya: Pengembang PLTN menilai ada pasal selundupan dalam RUU EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×