kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.239.000   4.000   0,18%
  • USD/IDR 16.580   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.118   47,22   0,59%
  • KOMPAS100 1.119   4,03   0,36%
  • LQ45 785   1,90   0,24%
  • ISSI 286   2,08   0,73%
  • IDX30 412   0,93   0,23%
  • IDXHIDIV20 467   0,39   0,08%
  • IDX80 123   0,45   0,36%
  • IDXV30 133   0,76   0,57%
  • IDXQ30 130   0,07   0,05%

Deindustrialisasi di depan mata


Selasa, 28 Desember 2010 / 10:43 WIB
Deindustrialisasi di depan mata


Reporter: Yudo Widiyanto, Sofyan Nur Hidayat, Umbara Purwacaraka, Havid Vebri | Editor: Rizki Caturini

Laporan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terkait dengan pertumbuhan industri, belum lama ini, memberi pesan khusus bagi persoalan industri manufaktur ke depan. Dalam kesempatan itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat secara jelas menggarisbawahi pentingnya para pelaku industri bangkit dan fokus meningkatkan daya saing.

Masih banyaknya tantangan dan hambatan yang harus segera diselesaikan tampaknya menjadi kata kunci ajakan sang menteri. Memang, pertumbuhan industri kita konsisten menunjukkan angka positif. Setelah tahun lalu tumbuh 1,54%, pemerintah menargetkan pertumbuhan 5% tahun ini. Hingga kuartal III-2010, kinerja sektor ini sudah tumbuh 4,65%.

Meski demikian, kinerja industri kita belumlah dapat dikatakan mantap lantaran struktur ekonomi kita yang kurang mendukung. Di sisi lain, pertumbuhan sektor ini ditopang oleh industri elektronik, otomotif, serta industri makanan, minuman dan tembakau yang rata-rata masih bertumbuh sekitar 8%. Sekalipun sektor manufaktur tumbuh, secara keseluruhan belum bisa diandalkan menyerap banyak tenaga kerja.

Deindustrialisasi

Sektor manufaktur memang masih harus diwaspadai. Apalagi kini ada gejala deindustrialisasi alias menurunnya peran sektor industri dalam perekonomian. Salah satu gejala deindustrialisasi ini adalah meningkatnya tren ekspor bahan mentah dibanding ekspor produk olahan.

Tak bisa dipungkiri, dalam 10 tahun terakhir, sektor industri hanya bertumbuh sekitar 3,5%. Angka itu di bawah pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 6%. Padahal saat jaya-jayanya pada 1987-1996, industri manufaktur bisa tumbuh dua digit (rata-rata 12 %) atau hampir dua kali lipat pertumbuhan ekonomi 6,9%.

Banyak kalangan sudah mengingatkan pemerintah akan ancaman deindustrialisasi ini. Ketua Asosiasi Pengusaha Indondo (APINDO) Sofjan Wanandi salah satunya. Menurut Sofjan, deindustrialisasi bisa menurunkan nilai tambah industri nasional dan tergerusnya produktivitas ekonomi nasional.

Ada banyak faktor penyebab deindustrialisasi. Salah satunya adalah derasnya serbuan produk impor, terutama dari China. Akibatnya, pertumbuhan industri yang tinggi malah dibarengi dengan naiknya impor secara signifikan. Ujung-ujungnya, surplus perdagangan menurun dan berpengaruh pada transaksi neraca berjalan.

Hatta Sinatra, Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) mengakui maraknya impor produk China tersebut. Bahkan, gempuran produk China itu berdampak pula terhadap pendapatan industri rotan.

Tahun ini, misalnya, ekspor rotan Indonesia dikhawatirkan tak akan menyentuh US$ 150 juta, atau turun 12% dari total ekspor rotan tahun 2009 yang sebesar US$ 168 juta. Tak aneh AMKRI menjerit melihat situasi ini. "Makanya, tahun depan kami akan menambah porsi penjualan di pasar domestik," kata Hatta.

Memang, sejak berlakunya Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) awal tahun ini, makin banyak saja produk China berseliweran di pasar domestik. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, total nilai impor produk China selama Januari-Oktober 2010 mencapai US$ 16,5 miliar.

Jumlah ini bahkan sudah 18,53% lebih tinggi dibanding impor sepanjang tahun lalu yang US$ 14 miliar. Volume impor dari China mencapai 8,7 juta ton, atau naik 8,1% dari 8,04 juta ton.

Selain maraknya impor, lambatnya pembangunan infrastruktur juga menjadi penyebab deindustrialisasi. Buruknya infrastruktur ini bak penyakit kronis bertahun-tahun yang tak pernah sembuh.

Entah mengapa, pembangunan infrastruktur di Indonesia berjalan bak siput. Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena lambatnya pembangunan infrastruktur menjadi salah satu pemicu ekonomi biaya tinggi.

Ekonomi biaya tinggi memang bukan semata-mata disebabkan oleh minimnya infrastruktur. Tapi juga dipicu masalah birokrasi, termasuk peraturan daerah bermasalah dan pungutan liar yang begitu merata di sejumlah daerah.

Harus berbenah

Melihat ancaman deindustriliasasi yang nyata di depan mata, tentu tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berbenah. Pemerintah wajib menyingkirkan pelbagai hambatan yang dihadapi industri manufaktur tersebut.

MS Hidayat sendiri sudah berjanji akan membenahi kondisi tersebut. Hidayat bilang, untuk mengembangkan industri, Kemenperin akan memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), insentif fiskal, penyediaan infrastruktur kawasan industri, dan dukungan administratif. "Untuk pembangunan infrastruktur, kami akan memakai skema public partnership," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×