Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Perusahaan swasta yang mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM), Shell dan Vivo, menolak membeli BBM dari PT Pertamina (Persero). Penyebabnya karena BBM milik perusahaan BUMN itu mengandung etanol sebesar 3,5%.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Achmad Muchtasyar mengatakan, jumlah kandungan tersebut masih di bawah ambang batas yang diperkenankan, yakni maksimal 20%. Meski demikian, Vivo dan Shell tetap urung membeli 40.000 barel BBM dari 100.000 barel yang diimpor oleh Pertamina.
"Ini (kandungan etanol) yang membuat teman-teman SPBU swasta tidak melanjutkan pembelian (base fuel), karena ada konten etanol tersebut,” ucap Achmad, dikutip dari Antara.
Tak hanya Shell dan Vivo, BP-AKR juga membatalkan kesepakatan untuk membeli BBM dari Pertamina.
Padahal, stok BBM di SPBU swasta ini hampir habis. Diperkirakan, stoknya hanya cukup sampai dengan pekan ini.
Dampak bagi masyarakat
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, dirinya sudah menduga bahwa pembelian BBM dari SPBU swasta di Pertamina akan berlangsung alot.
Dosen di UGM itu menyampaikan bahwa kebijakan impor satu pintu yang diterapkan pemerintah bakal memberatkan swasta.
"Saya yakin Pertamina pasti mengambil untung dengan menjual ke SPBU swasta. Nah, kalau mengambil untung, maka harga pokok produksinya lebih mahal sehingga sulit bersaing," ucapnya, saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (2/10/2025).
Baca Juga: Stok BBM SPBU Swasta Bisa Kosong Sampai Akhir 2025
Jika kondisi tersebut terus-menerus terjadi, stok BBM di SPBU swasta akan habis dan kosong. Kemudian, BBM di SPBU swasta menjadi langka.
"Kalau tidak mau beli ya terjadi kelangkaan," terangnya.
Fakta di lapangan saat ini, sejumlah SPBU swasta masih mempertimbangkan untuk membeli BBM dari Pertamina. Perusahaan tersebut bahkan lebih memilih untuk merumahkan pekerjanya.
Dalam jangka panjang, SPBU-SPBU swasta bakal hengkang dari Tanah Air sehingga berdampak pada iklim investasi di Indonesia.
"Dampaknya dari kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia itu investasi Indonesia menjadi tidak produktif," ucapnya.
Dia menduga, investor bakal urung berinvestasi di seluruh lini bisnis Indonesia. Fahmy berkata, para investor umumnya akan menilai dinamika pasar yang terjadi di negara yang menjadi tujuan investasinya.
Jika ada perubahan konsumen di Indonesia, dengan sangat mudah investor akan mengurungkan investasinya.
"Maka tidak ada lagi investor yang masuk, tidak hanya di migas tapi juga di lini bisnis lainnya," ucap Fahmy.
Baca Juga: ESDM Sebut Brasil dan Amerika Gunakan BBM dengan Kandungan Etanol