kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dihadapkan Sederet Kendala, Para Pelaku Industri TPT Mencoba Bertahan


Rabu, 14 September 2022 / 17:57 WIB
Dihadapkan Sederet Kendala, Para Pelaku Industri TPT Mencoba Bertahan


Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih menghadapi sejumlah tantangan dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa pemain di sektor tersebut juga ada yang tersandung masalah finansial.

PT Pan Brothers Tbk (PBRX) misalnya, emiten garmen ini baru saja menyelesaikan proses restrukturisasi utang lantaran sudah disetujui kreditur dan disahkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura sehingga dinyatakan berlaku efektif per 30 Juni 2022 lalu.

Manajemen PBRX pun tetap fokus mempertahankan bisnisnya di tengah berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan tersebut. Ini mengingat di saat yang sama PBRX juga menghadapi fluktuasi harga bahan baku sepanjang tahun 2022.

“Ini sangat berpengaruh dan menekan gross margin kami,” imbuh Iswardeni, Sekretaris Perusahaan Pan Brothers, Rabu (14/9).

Baca Juga: Peningkatan Suku Bunga Acuan BI Akan Berdampak pada Sektor-Sektor Ini

PBRX sendiri mengincar pertumbuhan sekitar 10% pada tahun 2022. Perusahaan ini fokus memperkuat penjualan produk-produknya yang didominasi untuk pasar ekspor. 

“Sekitar 97% penjualan kami ditujukan untuk brand global,” kata dia.

PBRX belum merilis laporan keuangan semester I-2022. Sementara per kuartal I-2021, penjualan PBRX naik 0,83% secara tahunan alias year on year (YoY) menjadi US$ 127,21 juta. Adapun laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk PBRX naik 64,71% menjadi US$ 3,64 juta.

Setali tiga uang, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) juga tengah menjalani proses restrukturisasi. Perusahaan ini masih berupaya memperbaiki kondisi keuangannya. Maklum, sampai semester I-2022, POLY masih mengalami defisensi modal sebesar US$ 948,47 juta. Sedangkan, total liabilitas POLY pada enam bulan pertama 2022 mencapai US$ 1,19 miliar.

“Karena ekuitas kami negatif, kami tidak bisa melakukan pinjaman ke bank. Untungnya, kami masih bisa bertahan,” ujar Direktur Keuangan dan Akuntansi POLY Prawira Atmadja ketika berkunjung ke redaksi KONTAN, Selasa (13/9).

Sebenarnya, kinerja POLY masih cukup oke. Terbukti, pendapatan POLY naik 23,60% YoY menjadi US$ 208,43 juta. Laba bersih emiten ini juga melonjak 715,69% menjadi US$ 12,48 juta.

Manajemen POLY membidik pendapatan sebesar US$ 400 juta pada tahun 2022 atau tumbuh sekitar 8% dibandingkan tahun sebelumnya. POLY juga mengincar EBITDA sebesar US$ 12 juta di tahun ini. Pihak POLY optimis begitu proses restrukturisasi rampung, perusahaan ini dapat mengembangkan bisnisnya secara terintegrasi dari hulu sampai hilir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, di samping faktor internal perusahaan yang bersangkutan, adanya gangguan modal kerja seiring pandemi Covid-19 juga menjadi penyebab utama masalah keuangan yang mendera sebagian produsen TPT Tanah Air.

Pasalnya, pembatasan aktivitas ekonomi ketika kasus Covid-19 meninggi dapat menekan penjualan produsen TPT, padahal beban operasional mereka tetap tergolong besar. Belum lagi, harga bahan baku juga mengalami lonjakan dalam beberapa waktu terakhir sehingga kian menambah berat beban para pelaku usaha TPT.

Baca Juga: WIKA Industri Manufaktur Targetkan Produksi Motor Listrik Gesits Sebanyak 10.000 Unit

Pemulihan industri TPT juga tidak berjalan mulus mengingat masih maraknya produk pakaian impor di pasar domestik, baik itu pakaian baru maupun pakaian bekas. Bahkan, APSyFI menyebut bahwa impor pakaian baru, kain dan benang kembali dibuka pada April silam. “Alhasil, di kuartal ini pasar penuh dengan barang impor,” imbuh dia, Rabu (14/9).

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif menambahkan, inflasi tinggi yang terjadi di banyak negara membuat pasar tidak mampu menyerap kenaikan harga jual produk-produk TPT. Akibatnya, banyak perusahaan yang mulai mengurangi kapasitas produksi demi menjaga arus kas sembari menunggu pasar mampu menerima efek dari inflasi.

“Ketika inflasi terjadi, orang-orang akan lebih dahulu membeli barang kebutuhan pokok,” tuturnya, hari ini.

Ia pun memperkirakan kinerja penjualan industri TPT akan stagnan dengan kecenderungan menurun di tahun 2022 seiring pelemahan daya beli masyarakat, inflasi tinggi di negara-negara tujuan ekspor, dan krisis energi di kawasan Eropa. Menurutnya, dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan stakeholder industri untuk membangun industri TPT yang berkelanjutan.

Sementara Redma berpendapat, sektor industri TPT untuk saat ini belum menarik lagi bagi para investor bila berkaca pada tantangan-tantangan yang ada. Apalagi, banyak pelaku industri TPT yang menghentikan sebagian lini produksinya. Dengan begitu, ada kemungkinan penjualan produk TPT di tahun ini turun sekitar 20%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×