kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dipengaruhi kondisi global, industri garmen berharap ekspor dapat stabil


Senin, 18 Februari 2019 / 16:18 WIB
Dipengaruhi kondisi global, industri garmen berharap ekspor dapat stabil


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah trade war dan fluktuasi kurs, ekspor produk garmen Indonesia menemui banyak tantangan. Namun para produsen masih terus mencari celah peluang baru di tengah hambatan-hambatan yang ada.

Apalagi di tahun 2018 kemarin produk tekstil dan garmen Indonesia terbukti masih mampu tumbuh signifikan. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan nilai ekspor di tahun 2018 tercatat yang paling tinggi dalam beberapa tahun ini yakni mencapai US$ 13,9 miliar, naik sekitar US$ 600 juta dibandingkan tahun 2017 sebelumnya yang hanya US$ 13,3 miliar.

"Tumbuh karena efek pembangunan infrastruktur sudah mulai terasa dan tingkat kompetensi (pabrik) Indonesia dinilai baik. Dari segi efisiensi juga bagus sehingga dianggap harga produknya cocok (bagi pasar luar negeri)," terang Ade kepada Kontan.co.id, Senin (18/2).

Adapun di tahun 2019 ini, API tak terlalu muluk-muluk menetapkan target, sama seperti tahun kemarin saja sudah syukur. "Walau secara kapasitas produksi nasional masih bisa ditingkatkan utilitasnya tapi kondisi pasar global masih belum menentu," kata Ade.

Ketidakpastian seperti trade war, yang menyebabkan China mulai mencari pasar baru di luar Amerika Serikat (AS) juga menjadi kekhawatiran bagi industri garmen. Sementara fluktuasi kurs, meski menurut Ade saat ini masih terbilang stabil, namun jika terjadi kenaikan dollar AS yang terlalu tinggi juga berefek pada cost produksi dan logistik para produsen garmen.

Terkait potensi ekspor nasional apakah dapat terkerek dengan adanya perjanjian kerja sama Ekonomi Komprehensif Indonesia dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA/IE-CEPA) usai penandatanganan nanti? Ade enggan berspekulasi lebih jauh sebab daya saing Indonesia saat ini untuk masuk Eropa masih kalah dengan beberapa negara Asean yang telah menandatangani free trade agreement sebelumnya.

Meski demikian, API masih optimis dalam beberapa tahun kedepan perjanjian tersebut memperoleh hasil yang positif bagi ekspor garmen Indonesia ke Eropa. "Mungkin ekspor bisa naik 2-3 kali lipat dalam lima tahun kedepan," ujar Ade.

Sementara itu, Joy Citra Dewi, Corporate Communications PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) memandang optimis keberadaan IE-CEPA tersebut. Hanya saja manajemen belum mempunyai proyeksi yang detil terkait rencana memasuki pasar Eropa tersebut.

Yang terang kata Joy, target ekspor SRIL di tahun ini berkisar 58%-60% dari revenue dimana pada tahun 2018 kemarin masih berkisar antara 56%-58%. "Porsi besar saat ini masih di Asia tetapi kita melihat peluang perbesar market AS dan China karena trade war," sebutnya kepada Kontan.co.id, Senin (18/2).

Mengenai perolehan kinerja di tahun kemarin, sayangnya manajemen belum dapat merincikannya saat ini. Kalau berkaca sampai kuartal tiga tahun 2018 ini penjualan ekspor ke Eropa tercatat naik 2% year on year (yoy) menjadi US$ 50 juta.

Sejauh ini sampai kuartal tiga tersebut ekspor SRIL masih didominasi oleh regional Asia sebanyak US$ 309 juta, melejit 67% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu US$ 184 juta. Secara total penjualan ekspor mencatatkan angka US$ 405 juta atau sebesar 53% dari total revenue SRIL di kuartal tiga 2018 yang sejumlah US$ 763 juta.

Sedangkan Tirta Heru Citra, Direktur PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY) mengaku bahwa sedikit banyak pelemahan kurs dolar AS terhadap rupiah tentu berdampak bagi ekspor perusahaan. Meski berhati-hati dalam menghadapi situasi ini, namun tampaknya perseroan belum terlalu khawatir karena penopang pendapatan bersih rata-rata tiap tahun sekitar 70% dari domestik sedangkan ekspor sekitar 30%.

Di situasi seperti ini, Tirta lebih berharap ada kestabilan terhadap nilai mata uang tersebut agar lebih mudah memprediksi bisnis dan mengatur keuangan. "Tentu saja sebagai pengusaha ialah kestabilan nilai tukar agar jangan turun dan naik terlalu cepat," katanya.

Secara keseluruhan, RICY tetap optimis untuk mampu meraih target pertumbuhan penjualan bersihnya kisaran 10%-15% di sepanjang tahun 2019 ini. "Karena produk kami merupakan kebutuhan primer khususnya bagi kaum lelaki dan jaringan distribusi yang kuat mendukung kami untuk lewati tahun ini dengan baik," ungkap Tirta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×