Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) mengaku siap seandainya pemerintah memberi penugasan akuisisi perusahaan minyak dan gas bumi di luar negeri seperti yang tertuang dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN 2020.
Asal tahu saja, pemerintah disebutkan sedang mengkaji kemungkinan untuk memberikan penugasan tersebut dengan tujuan untuk meningkatkan produksi migas sekaligus menekan impor Bahan Bakar Minyak.
Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H. Samsu mengatakan Pertamina siap melaksanakan Merger & Akuisisi (M&A) dengan mempertimbangkan beberapa hal. "Mempertimbangkan perhitungan keekonomian dan aspek risiko," sebut Dharmawan ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (25/8).
Hal-hal lain yang turut dipertimbangkan antara lain, penerapan Good Corporate Governance serta aspek strategis lain.
Menilik perjalanan Pertamina melalui Pertamina Internasional EP yang telah memulai M&A di luar negeri sejak 2005 menambah optimisme Pertamina.
Baca Juga: Wow, pemerintah bakal akuisisi perusahaan minyak di luar negeri
Dharmawan memastikan, total produksi migas aset Pertamina yang tersebar di 12 negara berjumlah 153.000 barel oil equivalent per day (boepd). Sejumlah hasil produksi tersebut di bawa ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.
"Tahun 2018 saja, 7 juta barel minyak dari entitlement Pertamina dibawa ke kilang-kilang dalam negeri," ujar Dharmawan.
Adapun pada tahun 2019, Pertamina menargetkan bisa memboyong 8 juta barel minyak dari ladang minyak miliknya di luar negeri.
Sekadar informasi, mengutip Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2020 dan Nota Keuangan, dijelaskan pada prinsipnya, strategi merger dan akuisisi (M&A) dapat dilakukan melalui dua metode.
Pertama, dengan mengakuisisi secara mayoritas perusahaan multinasional yang sehat dan kemudian menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut, sehingga Indonesia mempunyai wakil dalam struktur pengurus dan bisa ikut mengendalikan kebijakan perusahaan.
Kedua, strategi M&A dengan mengakuisisi perusahaan minyak yang secara finansial kurang sehat, namun memiliki cadangan minyak tinggi. Perusahaan ini bisa diakuisisi dengan harga murah dan tidak membebani APBN, yang kemudian disehatkan melalui kebijakan korporasi tertentu.
Terobosan kebijakan di atas diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi migas sekaligus menekan angka impor BBM yang bermuara pada penciptaan surplus transaksi berjalan secara bertahap.
Adapun, opsi kebijakan tengah dikaji oleh pemerintah, antara lain: pertama, memberikan penugasan baru kepada PT Pertamina mengakuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Kedua, memberikan penugasan tambahan kepada LPEI (Indonesia Eximbank) melalui Program National Interest Account (NIA) untuk melakukan akuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri.
Ketiga, membentuk special mission vehicles (SMV) baru dengan penugasan khusus secara profesional untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri. Terakhir, membentuk BLU (badan layanan umum) baru dengan penugasan khusus untuk pengelolaan dana dalam rangka mendukung pelaksanaan akuisisi perusahaan-perusahaan minyak di luar negeri.
Baca Juga: Pertamina serap FAME 59% dari alokasi 2019
Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menilai langkah tersebut sebagai sesuatu yang bagus. "Ya bagus, untuk menjadi world class company harus menguasai aset di luar juga," sebut Arcandra di Kantor Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan lain, Arcandra sempat mengungkapkan upaya yang dilakukan oleh Kementerian ESDM soal pencatatan entitlement Pertamina yang masuk ke dalam negeri.
Selama ini entitlement Pertamina dari lapangan migas di luar negeri dicatat sebagai impor volume. Hal ini diklaim sebagai salah satu penyebab defisit neraca perdagangan.
"Pemerintah sedang merumuskan bagaimana crude dari yang berasal dari kepemilikan entitlement Pertamina di luar negeri ketika masuk atau dibawa ke Indonesia di masukkan atau dicatatkan sebagai devisa masuk, bukan sebagai impor," kata Arcandra.
Sementara itu, Pendiri Reforminer Institute sekaligus pengamat migas Pri Agung Rakhmanto menilai langkah M&A sebagai sesuatu yang logis. Kendati demikian, menurutnya langkah tersebut tidak serta-merta berimbas signifikan pada defisit neraca perdagangan.
"Jika tujuannya mengatasi defisit neraca, maka akuisisi harus pada lapangan yang sudah berproduksi dan skala produksi yang besar agar entitlement signifikan," terang Pri Agung, Minggu (25/8).
Pri Agung menambahkan, proses akuisisi tentunya akan membutuhkan modal finansial yang tidak sedikit. Selain itu, pemerintah dan Pertamina perlu mempertimbangkan proses akuisisi yang tentunya akan diwarnai pula dengan persaingan.
Bahkan menurut Pri Agung, perlu ada pembenahan mendasar pada sektor hulu migas demi mengatasi penurunan produksi serta membengkaknya impor BBM. Permasalahan pada hilir yakni peningkatan konsumsi BBM akibat harga BBM yang tidak dinaikkan.
Menurutnya pelambatan konsumsi BBM dapat berdampak pada kondisi fiskal atau APBN. "Dengan fiskal yang lebih sehat, pemerintah punya ruang lebih untuk memberi insentif-insentif yang bisa mendorong ekspor. Pemerintah juga punya banyak pilihan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan, salah satunya misalnya tidak harus menunda program infrastruktur," sebut Pri Agung.
Menanggapi pemberlakuan entitlement Pertamina sebagai impor, Pri menilai perlu ada perbaikan pada sisi pencatatan. "Hal ini (defisit neraca) terlalu luas untuk hanya diatasi dengan sekedar langkah penugasan akuisisi," tutup Pri Agung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News