kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.706.000   -3.000   -0,18%
  • USD/IDR 16.340   -15,00   -0,09%
  • IDX 6.618   86,45   1,32%
  • KOMPAS100 963   10,57   1,11%
  • LQ45 753   6,24   0,83%
  • ISSI 204   3,07   1,52%
  • IDX30 391   2,33   0,60%
  • IDXHIDIV20 475   7,20   1,54%
  • IDX80 109   1,13   1,05%
  • IDXV30 113   2,27   2,05%
  • IDXQ30 129   1,02   0,80%

DME sebagai Pengganti LPG: Solusi Energi atau Beban Fiskal?


Kamis, 06 Maret 2025 / 06:05 WIB
DME sebagai Pengganti LPG: Solusi Energi atau Beban Fiskal?
ILUSTRASI. Pekerja dibantu alat berat memulai pembangunan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Tanjung Lalang, Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) diperikirakan akan mendatangkan investasi asing dari Air Products & Chemicals Inc (APCI) sebesar US$ 2,1 miliar dengan utilisasi 6 juta ton batu bara pertahun dan menghasilkan 1,4 juta DME pertahun. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kembali mendorong hilirisasi batubara dalam bentuk Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG), sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto di awal masa kepemimpinannya.

Melalui Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang dipimpin oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, pemerintah telah menyetujui 21 proyek hilirisasi tahap awal.

Dari jumlah tersebut, empat proyek akan berfokus pada produksi DME. Selain itu, terdapat satu proyek hilirisasi besi, satu proyek alumina, satu proyek aluminium, dua proyek tembaga, serta dua proyek nikel.

Baca Juga: Menakar Risiko Proyek DME Batubara Dibiayai dari Danantara

Dengan empat proyek DME, batubara menjadi komoditas dengan jumlah proyek hilirisasi terbanyak dibandingkan mineral lainnya.

"Kita akan membangun DME berbahan baku batubara low kalori sebagai substitusi LPG. Ini dilakukan agar produknya bisa dipasarkan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor," ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (3/3).

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno. Menurutnya, proyek DME akan membutuhkan investasi terbesar, mencapai US$ 11 miliar.

"Paling besar investasinya DME. Dari empat proyek DME saja, totalnya sekitar US$ 11 miliar," kata Tri di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/3).

Selain pendanaan yang besar, investasi DME juga disebut akan melibatkan campur tangan Danantara, yang diharapkan dapat membuka peluang pendapatan negara melalui royalti batubara.

Royalti 0% untuk Hilirisasi Batubara

Hingga saat ini, pemerintah belum merevisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang disahkan pada 30 Desember 2022.

Dalam regulasi tersebut, pemerintah menetapkan tarif royalti 0% untuk perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi, termasuk dalam proyek gasifikasi DME.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kebijakan ini dapat membuat negara kehilangan potensi penerimaan Rp 33,8 triliun per tahun dari royalti batubara.

Baca Juga: ESDM Ungkap Investasi Proyek DME Terbesar dalam Program Hilirisasi

"Dalam kajian Celios, jika produksi batubara mencapai 666,6 juta ton per tahun seperti di 2023, maka potensi kehilangan royalti bisa mencapai Rp 33,8 triliun per tahun. Jika kebijakan ini berlangsung selama 20 tahun, total kehilangan bisa mencapai Rp 676,4 triliun," ujar Bhima, Rabu (5/3).

Selain kehilangan pendapatan dari royalti, Bhima menilai pemerintah harus belajar dari gagalnya proyek hilirisasi batubara sebelumnya.

Ia mencontohkan kasus mundurnya Air Products & Chemical Inc (APCI)—perusahaan asal Amerika Serikat—dari proyek DME bersama PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). APCI sempat berkomitmen berinvestasi US$ 2,1 miliar (Rp 30 triliun) dan melakukan groundbreaking di Muara Enim, Sumatera Selatan, sebelum akhirnya menarik diri.

Saat ini, PTBA tengah menjajaki kerja sama dengan East China Engineering Science and Technology Co. LTD untuk melanjutkan proyek tersebut, namun belum ada kesepakatan final.

"Hilirisasi batubara terbukti sulit menarik investor karena biaya tinggi dan ketidakpastian off-taker," ujar Bhima.

Pendanaan Proyek DME Melalui Danantara, Dinilai Kurang Feasible

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, menyoroti peran Danantara dalam proyek ini.

Menurutnya, penggunaan dana negara, termasuk melalui Danantara, kurang feasibel karena keterbatasan anggaran serta risiko tinggi. Ia juga mengingatkan bahwa masih banyak sektor lain yang lebih mendesak untuk didanai oleh pemerintah.

Baca Juga: Bahlil: Proyek DME Pengganti LPG Berlanjut, Salah Satu Modalnya dari Danantara

"Pemerintah harus mengkaji urgensi proyek ini, mempertimbangkan kemampuannya, serta risiko yang muncul. Selain itu, faktor pengawasan dan potensi penyimpangan juga perlu diperhatikan, karena ini sangat berbahaya," kata Bisman, Rabu (5/3).

Bisman juga menyoroti faktor keekonomian DME sebagai pengganti LPG.

"Jika harga LPG turun atau suplai dalam negeri meningkat, DME bisa menjadi tidak ekonomis dan malah membutuhkan subsidi tambahan," tambahnya.

Regulasi yang Konsisten Dibutuhkan untuk Proyek Jangka Panjang

Dari sisi industri, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menekankan bahwa biaya investasi DME bervariasi tergantung pada kualitas batubara, cadangan, biaya logistik, serta faktor teknis lainnya.

"Setiap perusahaan batubara akan menghadapi biaya investasi yang berbeda, tergantung dari cadangan, kalori batubara, stripping ratio, hingga logistik," jelas Hendra.

Selain itu, ia menegaskan bahwa proyek DME bersifat jangka panjang, dengan durasi bisa mencapai 25 tahun atau lebih.

Baca Juga: Danantara akan Dilibatkan dalam Pembangunan Proyek DME Pengganti LPG

Oleh karena itu, kepastian regulasi menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan pemerintah.

"Proyek ini jangka panjang, jadi butuh regulasi yang konsisten, dukungan fiskal dan non-fiskal, serta kepastian off-taker," tutupnya.

Selanjutnya: Penjualan Properti Jabodetabek Diproyeksi Turun 20% dalam Jangka Pendek, Ini Sebabnya

Menarik Dibaca: Pemula Wajib Tahu Tips Olahraga Aman di Gym Ini, Sebaiknya Pakai Trainer

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×