Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai negara dengan jumlah cadangan nikel mencapai 5,33 miliar ton dalam bentuk bijih dan 56,12 juta ton dalam bentuk logam, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Meski kaya akan sumber daya, langkah ekspansi yang pesat dan target hiliriasi yang semakin cepat, nyatanya tidak selalu berjalan dengan mulus untuk mineral yang satu ini.
Nikel Indonesia di mata global, pada perkembangannya, bertemu dengan sentimen negatif. Salah satunya melalui tudingan 'kotor' atau dirty nickel.
Hal ini muncul karena adanya isu lingkungan dan keberlanjutan (ESG) dalam proses penambangan dan pengolahan nikel.
Untuk memenuhi tuntutan global, khusunya terkait produk nikel yang bersih dan pertambangan yang berkelanjutan, Indonesia perlu memiliki 'paspor' sebagai syarat diterima di pasar global.
Dari sisi pemegang kebijakan, Kementerian ESDM telah menjabarkan bahwa kementerian tengah menggodok tata kelola lebih spesifik terkait penerapan ESG, berdasarkan pada Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Baca Juga: Eramet Indonesia Buka Suara Soal Rencana Akuisisi Smelter HPAL Huayou
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung menjelaskan bahwa tata kelola ESG yang tengah digodog akan mencakup dampak lingkungan dan sosial.
"Penerapan ESG yang sebenarnya berdasarkan Undang-Undang 2 tahun 2025, kita sudah buatkan tata kelolanya. Terkait dengan environment, ada jaminan bagi pelaku usaha untuk melakukan reklamasi," ungkap Yuliot di Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.
"Kemudian dari sisi sosial, kita sudah tetapkan juga regulasinya, dimana masyarakat di sekitar lokasi tambang yang terdampak dari kegiatan pertambangan itu harus mendapatkan CSR dari perusahaan pertambangan," tambah Yuliot.
Asosiasi Penambang Nikel (APNI) juga menyatakan hal serupa. ESG menurut asosiasi dipandang sebagai 'paspor global' untuk mendukung daya saing industri nikel Indonesia.
"Pemerintah dan pelaku industri menegaskan pentingnya standardisasi ESG yang adil dan kontekstual. Kami sepakat untuk memulai penyusunan standar ESG nasional melalui konsultasi multipihak," ungkap Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno, saat dikonfirmasi, Selasa (09/09/2025).
Secara keseluruhan, Djoko bilang, Indonesia memang perlu mengejar standardisasi nasional dan internasional sebagai tonggak legitimasi dan daya saing nikel jangka panjang.
Untuk mendukung hal ini, PT Eramet Indonesia, bagian dari grup pertambangan dan metalurgi multinasional asal Prancis, Eramet Group atau Eramet SA yang telah mendukung hilirisasi di Indonesia sejak 2006 menerapkan beberapa langkah.
Baca Juga: Eramet Jajaki Kerja Sama dengan Danantara di Proyek Nikel Weda Bay
Sebagai gambaran, di Indonesia, Eramet tercatat sebagai pemegang saham PT Weda Bay Nikel (WBN), perusahaan patungan yang bergerak di pertambangan nikel terintegrsi di Pulau Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Saat ini, struktur kepemilikan WBN terdiri atas 90 persen Strand Minerals dan 10 persen PT Antam Tbk. Sementara itu, Eramet Group memegang 43 persen saham Strand Minerals, sedangkan 57 persen sisanya dimiliki oleh Tsingshan Group.
CEO Eramet Indonesia, Jerome Baudelet mengungkap bahwa 'jejak' dalam penambangan memang tidak bisa dihindarkan. Tapi, keputusan Indonesia untuk berada pada tingkat tertinggi rantai produksi nikel dunia, ternyata memiliki efek superior pada negara-negara lain.
"Ketika Anda menambang, Anda memiliki jejak. Hal ini berlaku untuk setiap negara di dunia," ungkap Jerome dalam Eramet Journalist Class di Jakarta, dikutip Selasa (09/09/2025).
Ia menambahkan, dalam jangka waktu kurang lebih lima tahun sejak dilarangnya ekspor bijih nikel melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019, Indonesia telah meningkatkan produksi nikel sebanyak 52%.
"Indonesia berubah dari 8% produksi dunia menjadi lebih dari 60% produksi, itu memiliki efek yang menakutkan bagi kapasitas di luar Indonesia," ungkap dia.
Langkah ini, sekaligus menjadi awal diversifikasi portofolio produk nikel Indonesia. Dalam data Kementerian ESDM misalnya, tercatat Indonesia telah mengekspor beberapa produk turunan nikel misalnya, Nickel Pig Iron (NPI) atau Besi Kasar Nikel, Nikel Sulfat (NiSO4), Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), nikel matte, hingga produk paling umum yaitu nikel metal.
"Sejujurnya, saya tidak setuju dengan label nikel kotor yang diberikan kepada Indonesia. Kita harus lihat operasinya satu per satu dan melihat orang-orang yang terlibat di dalamnya," tambah dia.
Meski begitu, Jerome tidak menampik, bahwa tuntutan global adalah tuntutan yang perlu dibuktikan. Dengan pertambangan yang berkelanjutan, yang memperhatikan penerapan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG).
"Eramet berkomitmen untuk menjadi pengelola sumber daya mineral yang bertanggung jawab, salah satunya dengan dekarbonisasi. Eramet secara global menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 40% pada tahun 2035 dan berkomitmen mencapai carbon neutrality di tahun 2050," ungkap Jerome.
Jerome juga menyebut, seluruh strategi keberlanjutan yang Eramet jalankan berpijak pada komitmen jangka panjang Eramet, yaitu standar Initiative for Responsible Mining Assurance atau IRMA, yang berfungsi sebagai panduan untuk memastikan integrasinya ke dalam operasi secara efektif.
Baca Juga: Eramet Bidik Produksi Nikel Hingga 42 Juta Ton Bijih Tahun Ini
"Di Indonesia, Eramet melalui usaha patungannya WBN mulai memperkenalkan truk listrik dalam kegiatan penambangan pada 2024. Kehadiran armada truk dump listrik ini menjadi salah satu langkah penting bagi industri pertambangan nasional dalam mendorong transisi menuju energi bersih," ungkapnya.
Adapun, tahap pasca-tambang yang dilakukan Eramet difokuskan pada rehabilitasi lahan, revegetasi, serta pemulihan ekosistem dengan menggunakan kembali topsoil yang telah disimpan sejak tahap awal penambangan.
"Kami melakukan pemantauan lingkungan jangka panjang, termasuk kualitas air, keanekaragaman hayati, serta dampak sosial di komunitas sekitar tambang," tambah Jerome.
Dari sisi pemenuhan kewajiban perusahaan terhadap lingkan Co-Founder A+ CSR Indonesia, Jalal mengatakan langkah yang dilakukan Eramet di Indonesia valid, apalagi target pertambangan berkelanjutan telah didukung dengan adanya perkembangan teknologi.
Kunci dari pertambangan berkelanjutan ungkap Jalal hanya dua: adanya strategi finansial yang ajeg serta terpenuhinya standar global komprehensif yang dimonitori oleh lembaga kredibel.
"Pertambangan di Eropa, misalnya kebanyakan telah menggunakan ekonomi circular. Ditambah dengan meminimumkan dampak negatif dengan teknologi apa yang ada sekarang," jelas dia.
Tuntutan global, menurut Jalal sejatinya justru mengarahkan Indonesia pada pertambangan yang lebih baik, lebih memperhatikan isu lingkungan-sosial dan penataan tata kelola yang lebih baik.
"Betapa aspek lingkungan, dominan disitu, disusul aspek sosial worker health and safety, working conditions kemudian impact on community itu yang dianggap tinggi," tambah dia.
Ekspansi Eramet yang Berjalan Beiringan dengan Pemenuhan ESG
Ekspansi juga dilakukan Eramet, diluar nikel, khususnya guna mendukung penggunaan logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth, jenis lithium di dalam negeri.
Sebelumnya, Eramet telah mengunci program kerja sama dengan Badan Geologi Kementerian ESDM. Jerome menambahkan, saat ini pihaknya tengah mengirim sampel lithium Indonesia ke Prancis agar diteliti lebih lanjut.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Insentif Khusus bagi Pabrikan Mobil Listrik Berbaterai Nikel
“Kami telah mengambil sampel litium yang mungkin terkandung di daerah vulkanik, di area air panas (Bledug Kuwu, Grobogan Jawa Tengah),” katanya.
Ia menjelaskan bahwa litium termasuk dalam mineral yang dicari sebagai bahan baku EV, selain nikel. Di Indonesia, memang dapat ditemukan di beberapa lokasi, namun jika konsentrasi mineralnya terlalu rendah, maka pemanfaatannya untuk industrialisasi tidak memungkinkan.
“Ini sedang kami coba periksa bersama pusat penelitian yang ada di Prancis,” ujarnya.
Peningkatan produksi nikel juga terus dilakukan oleh Eramet, dalam catatan Kontan, Jerome mengumunkan telah melakukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mereka di Indonesia tahun ini, dan telah mendapatkan tambahan produksi sekitar 10 juta ton nikel.
"Kami menargetkan 42 juta ton bijih karena kami baru saja mendapatkan perpanjangan RKAB dari Kementerian ESDM untuk tambahan 10 juta. Jadi, awalnya 32 juta ton, sekarang 42 juta ton," ungkap Jerome.
Lebih detail, Jerome mengatakan bahwa penambahan 10 juta ton produksi bijih adalah untuk produksi bijih nikel berkadar rendah atau limonit yang akan diproses melalui smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
"RKAB baru yang kami dapatkan adalah untuk limonit. Ini untuk menyediakan kebutuhan (smelter) HPAL di Weda Bay, Nickel" ungkapnya.
Sedangkan secara total target produksi 42 juta ton bijih terbagi menjadi 30 juta ton nikel berkadar tinggi atau saprolit dan 12 juta ton limonit.
"Di 42 juta ini, kami memiliki pada dasarnya 27 juta ton saprolit yang bisa kami jual untuk Nickel Pig Iron (NPI). Kami memiliki 3 juta (produksi) untuk plantasi sendiri. Jadi total saprolit adalah sekitar 30 juta. Lalu, limonit untuk HPAL adalah sekitar 12 juta," jelasnya.
Baca Juga: Danantara dan Eramet asal Prancis Bahas Investasi Pabrik Nikel di Indonesia
Selanjutnya: Jadwal Hungaria vs Portugal dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026: Line Up dan Prediksi
Menarik Dibaca: Jadwal Hungaria vs Portugal dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026: Line Up dan Prediksi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News