Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan sepakat meminta diakomodir aspirasinya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Komisi IX DPR RI terkait penolakan Pasal Pengamanan Zat Adiktif Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam momentum Silaturahmi Ekosistem Pertembakauan, Selasa (30/5).
Polemik RUU Kesehatan, khususnya pasal 154 terkait Pasal Pengamanan Zat Adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol telah menimbulkan gejolak dan ancaman bagi keberlangsungan ekosistem pertembakauan.
Secara substansi, pengelompokan tersebut yang notabene menyamakan tembakau dengan barang ilegal jelas menyalahi perundangan. Terlebih tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Dari sisi hulu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) juga menilai Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas melanggar hukum. APTI menekankan bahwa dampak polemik regulasi ini bukan hanya ke industri hasil tembakau (IHT).
Baca Juga: Potensi Melimpah, Kemenperin Dorong Pengembangan Industri Sagu dan Cokelat Artisan
"Industri mati, kami petani tembakau mati. Tembakau jelas komoditas legal. Kami kecewa, di saat kami sedangmenanam tembakau, diombang-ambingkan regulasi. Kalau kami tidak bisa menanam, kami mau seperti apa. Sampai saat ini, belum ada komoditi di musim kemarau yang pendapatannya seperti tembakau. Harusnya negara melindungi keberadaan kami, ini justru napas kami mau dihentikan," ujar Ketua DPC APTI Pamekasan Samukrah dalam keterangannya, Rabu (31/5).
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTMM) SPSI juga turut berkomitmen memperjuangkan masa depan ekosistem pertembakauan yang sedang ditekan regulasi diskriminatif.
"Kalau ada regulasi yang menghancurkan sawah ladang kami, pasti kami lawan. Kami, para pekerja akan terus mengawal dan memperjuangkan mata pencaharian kami. Mengapa di negara kita, pemangku kebijakan dan pembuat regulasi ini berulang-ulang membuat keputusan yang bertentangan?" kata Iyus Ruslan, Sekjen FSPRTMM SPSI.
Senada dengan Iyus, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto menekankan bahwa industri selalu menaati setiap regulasi pertembakauan yang diterapkan pemerintah. Namun, pada praktiknya, IHT masih terus ditekan bukan diberikan perlindungan.
"Kami terus berupaya mengawal masa depan ekosistem pertembakauan. Jangan sampai pembuat kebijakan semena-mena, tidak melihat dan mendengarkan realita di lapangan," ujar Heri.
Baca Juga: Wilmar Padi Kejar Peningkatan Produksi Padi Sebesar 15%
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo menilai menjaga eksistensi ekosistem pertembakauan menjadi urgensi saat ini. IHT telah menjadi motor penggerak ekonomi nasional mengingat size economy-nya yang cukup besar.
"Walaupun single comodity, tapi ekosistem ini meliputi dari hulu ke hilir yang luar biasa. Dari penerimaan CHT saja, porsinya menyumbang 11% setiap tahunnya. IHT berhasil menggerakkan ekonomi lainnya termasuk memiliki efek sampai pada grassroot (petani)," ujar Edy Sutopo.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto tak memungkiri bahwa penerimaan negara cukup besar berasal dari kontribusi CHT sekitar 10%-13% dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.
Oleh karena itu, menurut Nirwala, alangkah bijak bila dalam setiap regulasi berkaitan dengan pertembakauan, yang dibutuhkan adalah evaluasi implementasi. Bukan dengan mengubah atau membuat regulasi baru.
Ali Rido, Pengamat Hukum Universitas Trisakti berpandangan polemik Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Mengutip pandangan MK bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal maka dibutuhkan perlindungan seperti perlinduangan hukum dan pemenuhan.
"Hukum telah menegaskan bahwa ekosistem pertembakauan adalah konstitusional yang harus dilindungi. Maka, ketika muncul pasal 154 mengenai Pengamanan Zat Adiktif di RUU Kesehatan, yang membuat tembakau satu rumpun, satu golongan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol menjadi sangat tidak logis. Bagaimana bisa mengelompokkan entitas yang legal dan tidak legal," tegas Ali Rido.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News