kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekspor CPO akan kena pungutan US$ 50 per ton


Minggu, 22 Maret 2015 / 19:07 WIB
Ekspor CPO akan kena pungutan US$ 50 per ton
ILUSTRASI. Lazada Indonesia meluncurkan program khusus bagi penjual UMKM baru.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Pemerintah mengeluarkan wacana baru terkait ekspor produk crude palm oil (CPO) dengan harga pembelian di bawah US$ 750 per ton.

Jika sebelummya pemerintah berencana menurunkan batas bawah (threshold) Bea Keluar (BK) CPO menjadi US$ 550 per ton hingga US$ 600 per ton, diganti dengan pungutan sebesar US$ 50 per ton untuk penjualan CPO dengan harga di bawah US$ 750 per ton. Sementara untuk produk turunan CPO atawa olein dikenakan pungutan sebesar US$ 30 per ton.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengatakan upaya pemerintah mengenakan pungutan sebesar US$ 50 per ton tetap saja merugikan petani sawit. Dengan BK tersebut dampaknya langsung terasa pada petani dengan penurunan tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Saat ini, TBS dibeli dari petani dengan tingkat harga Rp 1.100 - Rp 1.400 per kilogram (kg). 

Tapi kalau aturan baru ini diberlakukan, maka harga TBS di tingkat petani berpotensi turun sekitar 20% turun tinggal sebesar Rp 800 hingga Rp 900 per kg. "Karena biasanya pengusaha tidak mau rugi, jadi kerugian itu dibebankan kepada petani," ujar Asmar kepada KONTAN, Minggu (22/3). Sebagai perbandingan harga TBS di tingkat pabrik saat ini sebesar Rp 1.680 per kg.

Kalaupun pemerintah tetap ngotot mengenakan pungutan, Asmar meminta agar pemerintah harus berkomitmen mengembalikan uang itu kepada petani melalui pembangunan infrastruktur, replanting, penelitian dan program biodiesel di dalam negeri.

Ia bilang, kalau rencana pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan hilirisasi industri sawit dalam negeri petani sawit tidak keberatan. "Kami setuju saja kalau uang itu memang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan replanting kebun-kebun sawit yang sudah tua," imbuhnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil pada Jumat (20/3) kemarin mengatakan pemerintah akan memungut dana dari para pengusaha CPO sebesar US$ 50 per ton. Sementara untuk produk turunan CPO akan dikenakan pungutan US$ 30 per ton.

Dana itu nantinya digunakan untuk pengembangan industri kelapa sawit nasional. Karena itu, dana itu akan disimpan direkening tersendiri dan tidak tercatat sebagai salah satu penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengatakan pihaknya tetap menagih komitmen pemerintah untuk pengembangan program bioenergi terlepas dananya berasal darimana. Sebab, ia menilai dana yang diperoleh dari pungutan ekspor CPO sebesar US$ 50 per ton merupakan program terpisah dari program dan komitmen pemerintah dalam mengembangkan program bioenergi dalam negeri.

"Jadi kalau pemerintah merasa kekurangan dana dan memungutnya dari ekspor CPO itu tidak masalah. Tapi dana itu berbeda dengan program pengembangan industri biodiesel," ujar Paulus kepada KONTAN, Minggu (22/3).

Namun Paulus menekankan, pemerintah harus berkomitmen mengembangkan bioenergi nasional selain dari fosil terlepas darimana pun asal dananya. Meskipun kebijakan memungut US$ 50 per ton dari pengusaha eksportir CPO digunakan untuk pengembangan bioenergi, hal itu sah-sah saja, tapi program pungutan ini berbeda dengan program pengembangan bioenergi.

Paulus menagih komitmen pemerintah untuk berlaku adil dengan serius mengembangan program biodiesel dalam negeri agar Indonesia tidak selamanya bergantung pada energi fosil.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×