Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
Jamur tersebut biasa tumbuh pada kulit biji kakao, sehingga kandungan OTA sebagian besar ditemukan pada bagian kulit biji kakao. Kontaminasi OTA tidak dapat dihilangkan selama proses pengolahan produk kakao.
"Beberapa tahun terakhir ini produk cocoa shell powder kembali beredar di Indonesia bahkan diduga banyak juga diekspor keluar. Ini terjadi karena pengawasan yang kurang ketat dari pemerintah," jelasnya.
Adapun kulit biji kakao ini sekitar 10% dari biji kakao yang diproses atau sekitar 46.500 ton dari total proses kakao di 465.000 ton. Sebagian besar dijadikan bahan bakar boiler dan dijual untuk pakan ternak, tapi ada yang merembes ke industri makanan dan minuman.
Sindra memprediksi kakao bubuk dari kulit ini bisa sekitar 8.000 ton per tahun. Menurutnya, AIKI dan BPOM sudah mengeluarkan surat himbauan kepada semua industri kakao agar memanfaatkan limbah industrinya hanya untuk pakan ternak atau bahan bakar boiler dan tidak menjualnya secara bebas.
Tapi faktanya hingga saat ini masih banyak beredar baik dalam kemasan sachet maupun kemasan sack 10 kg - 25 kilogram.
Untuk itu, Sindra berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan BPOM RI dapat lebih ketat dan serius dalam mengawasi peredaran cocoa shell powder yang memang lebih murah 25%-50% dari harga cocoa powder asli.
Sindiran melanjutkan, cocoa shell powder dipasarkan sama seperti cocoa powder yang asli yaitu kepada industri makanan dan minuman yang memproduksi susu, minuman sachet, permen, biscuit, roti, kue, mesis, pasta cokelat dan lain-lain.
Adapun yang menjadi sasaran mereka adalah industri kelas kecil, menengah dan home industry yang tidak terlalu ketat mengawasi mutu produknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News