Reporter: Abdul Basith | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) untuk memperketat syarat ekspor produk perikanan, dikhawatirkan bakal memukul kinerja industri perikanan Tanah Air. Pukulan lebih berat, terutama akan diterima oleh industri yang selama ini menggantungkan penjualannya di pasar ekspor kedua negara tersebut.
Dengan adanya kewajiban setiap eksportir perikanan mengantongi sertifikat cara budidaya ikan yang baik (CBIB) dan cara penangkapan ikan yang baik (CPIB). Dua kewajiban itu perlu dijalankan dengan alasan keamanan produk pangan.
Corporate Communication (Corcom) PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk (DSFI) Saut Marbun berharap persyaratan sertifikat ekspor produk perikanan tersebut tidak mengganggu bisnis DSFI. Sebab salah satu pasar terbesar DSFI adalah AS dan UE.
Produk perikanan yang dijual DSFI ke negara-negara tersebut merupakan produk perikanan dengan nilai tinggi. Rata-rata harga jual mencapai US$ 6,8 per kilogram (kg). DSFI sangat tergantung pada pasar luar negeri karena lebih dari 90% produk di ekspor.
Namun menurut Saut, sejauh ini pihaknya hanya menyertakan dokumen Hazard Analysis & Critical Control Point (HACCP) untuk ekspor. "Karena itu, kami tidak mengalami kesulitan untuk ekspor ke AS dan UE karena seritifkat yang dimaksud tidak diminta. Kalaupun ada tambahan dokumen itu hanya ikan hasil budidaya," ujarnya kepada KONTAN, Rabu (7/3).
Hanya saja bagi PT Dua Putra Utama Makmur Tbk yang sedang berupaya masuk pasar UE dan AS, syarat ekspor yang ketat menyulitkan perusahaan ini. Untuk mengeekspor ke UE dan AS, emiten dengan kode saham DPUM ini masih mengurus administrasi perizinan.
Sekretaris perusahaan DPUM Denny Yuniarto mengatakan, UE dan AS merupakan pasar strategis walau memiliki standar tinggi produk perikanan. "Untuk ekspor ke AS dan UE, saat ini ada banyak regulasi yang harus dilengkapi untuk menjamin keamanan produk yang diekspor," imbuhnya.
Dia mengaku, pihaknya memang sudah diminta disertakan sertifikat hasil tangkapan ikan. Sertifikat ini digunakan untuk menjamin ikan yang diekspor tidak berasal dari praktik illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing. Untuk ekspor ikan budidaya juga memerlukan sertifikat tambahan, terutama hasil budidaya di tambak. "Ekspor ikan ke UE ada tambahan sertifikat Aquaculture Stewardship Council (ASC) kalau dari tambak," terang Denny.
Untuk AS, sejauh ini proses perizinan ekspor DPUM masih dalam proses di Food and Drug Administration (FDA) AS untuk mendapatkan green ticket ekspor.
Garap pasar Asia
Dengan ketatnya syarat ekspor ke AS dan UE, DPUM saat ini masih fokus menggarap pasar Asia. Denny bilang, mayoritas produk perikanan DPUM diekspor ke Jepang dan negara Asia lain.
Tahun 2017, DPUM mengekspor produknya ke sembilan negara dengan porsi 70% dari total ekspor ke Jepang. Sedang di 2018, DPUM akan mulai ekspor ke Afrika Selatan dengan porsi 4%.
Selain ekspor, sepanjang 2017, DPUM juga masih mengandalkan pasar lokal dengan nilai Rp 800 miliar. Di tahun yang sama nilai ekspor DPUM hanya Rp 400 miliar. Untuk tahun ini DPUM optimis penjualancapai Rp 1,3 triliun.
Agung Pamujo, Sekretaris Perusahaan Perum Perikanan Indonesia (Perindo) mengakui persyaratan CBIB dan CPIB semakin memperketat ekspor. "Untuk itu, kami sampai sekarang ini ekspor ke sana under name dengan mitra kerjasama Perindo, meski semua persyaratan itu sudah kami penuhi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News