Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski mengalami tantangan, kinerja ekspor minyak sawit Indonesia baik biodiesel, oleokimia, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya mencatat peningkatan sebesar 16% year on year (yoy) dari 7,84 juta ton di kuartal I 2018 menjadi 9,1 juta ton.
Bila melihat kinerja ekspor pada Maret, ekspor minyak sawit mengalami peningkatan 3% dibandingkan Februari atau meningkat dari 2,88 juta ton menjadi 2,96 juta ton. Khusus untuk ekspor CPO dan produk turunannya pada Maret, hanya meningkat menjadi 2,78 juta ton dari 2,77 juta ton di Februari.
Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan adanya sentimen Renewable Energy Directive II (RED II) menjadi salah satu penyebab yang membuat kinerja ekspor Indonesia tak membanggakan. Tak hanya itu, perekonomian negara tujuan utama ekspor yang melesu seperti India turut berpengaruh pada permintaan CPO.
Tak hanya itu, perang dagang Amerika Serikat dan China mempengaruhi kedelai kedua negara sehingga turut berujung pada penumpukan stok kedelai di Amerika SEikat.
“Tahun ini mungkin masih akan berat pada industri ini. Tahun ini karena Amerika Serikat dan China berseteru lagi, kelihatannya akan berdampak tidak terlalu positif pada global. Kita rasakan pada triwulan I ini kita masih mengalami kelesuan,” ujar Joko, Rabu (15/5).
Gapki mencatat, pada Maret, ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke India mengalami penurunan yang signifikan atau 62% month on month, atau dari 516.530 ton di Februari menjadi 194.410 ton. Tak hanya dari Indonesia, permintaan minyak sawit India ke Malaysia pun mengalami penurunan. Tak hanya India, penurunan permintaan CPO juga dialami oleh Afrika sebanyak 38%, Amerika Serikat menurun 10% dan Uni Eropa 2%.
Sementara, ekspor CPO dan produk turunannya ke negara lain seperti Korea Selatan, Jepang dan Malaysia justru mengalami peningkatan pada Maret ini.
Dari serapan dalam negeri, penyerapan biodiesel sepanjang Maret tercatat sebesar 527.000 ton atau turun 19% dibandingkan Februari yang tercatat sebesar 648.000 ton. Penurunan ini diakibatkan keterlambatan permintaan dari Pertamina sehingga pengiriman ke titik penyaluran ikut terlambat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News