Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Impor produk elektronik asal China makin sulit dibendung. Data sementara Kementerian Perindustrian menunjukkan selama periode 2007 - 2011, impor produk elektronik China mengalami pertumbuhan hingga 51,4%. Laptop dan ponsel mendominasi produk impor tersebut.
Total impor produk elektronik asal China tahun 2011 mencapai US$ 5,77 miliar (Rp 52 triliun di kurs Rp 9.000) atau naik 14% dari impor tahun 2010 yang mencapai US$ 5,07 miliar (Rp 45,6 triliun).
Dari nilai itu, impor laptop memberi kontribusi terbesar yakni sekitar US$ 1 miliar (Rp 9 triliun) atau naik 15,04% dari hasil tahun 2010. Sedangkan impor ponsel 2011 sebesar US$ 929,01 juta atau turun sebesar 40,79% dari tahun sebelumnya. Tapi, mayoritas produk impor lainnya, seperti radio, telegraf, hardisk dan berbagai komponen komputer mengalami kenaikan.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Ali Soebroto, membanjirnya produk elektronik buatan China ini sebagai konsekwensi dari penerapan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang memberlakukan bea masuk 0%.
Imbasnya, impor produk elektronik China langsung membanjiri pasar lokal lantaran belum adanya tameng pelindung non tarif. Seperti safe guard atau bea masuk anti dumping. "Penerapan ACFTA membuat industri dalam negeri tidak bisa lahir atau tumbuh," kata Ali, Minggu (19/2).
Kondisi ini semakin memperarah perkembangan industri manufaktur di dalam negeri. Pasalnya biaya produksi industri dalam negeri terus saja melonjak lantaran kebijakan pemerintah seolah tidak mendukung perkembangan industri dalam negeri. Seperti perusahaan harus memilih fasilitas antara Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE) atau fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP), ada aturan kawasan berikat yang mempersempit ruang gerak perusahaan ke pasar dalam negeri, serta kenaikan upah minimum karyawan (UMK).
Imbasnya, ongkos produksi membuat produk elektronik di sini menjadi tidak efisien. Sehingga kalangan pebisnis condong mengimpor produk dari China yang murah.
Ag Rudyanto, Ketua Electronic Marketer Club (EMC) mengakui keunggulan produk elektronik China ini dan berani menjual dengan harga miring. "China didukung dengan jumlah penduduk yang besar dan tenaga kerja murah," kata Rudyanto memberi alasan.
Industri di China, menurut Rudyanto, memang sudah terbilang maju. Pemerintah di sana memberi insentif dan ditunjang infrastruktur yang memadai. Proses pengalihan teknologi pun bisa dilakukan dengan cepat.
Indonesia sebetulnya bisa. Asalkan sudah ada industri penyangga, industri komponen dan ketersediaan bahan baku. Yang tak kalah penting adalah dukungan pemerintah terhadap industri ini dan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News