Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengungkap hingga semester satu tahun ini terdapat empat smelter China yang berinvestasi di Indonesia yang melakukan penghentian produksi.
Salah satu di antaranya bahkan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau merumahkan sebagian pekerjanya.
"Setidaknya ada empat smelter besar di Indonesia yang melakukan penghentian sebagian atau total lini produksi, kemudian ada yang dirumahkan juga (pekerjanya)," ungkap Djoko kepada Kontan, Selasa (29/07).
Baca Juga: Indonesia Ingin CPO Hingga Nikel Bebas Tarif dari Amerika Serikat
Berikut ada daftar 4 smelter nikel China di Indonesia yang melakukan penghentian sebagian atau total produksi mereka:
1. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI)
Menurut APNI, lebih dari 15 dari 20 lini produksinya dihentikan sejak awal 2024 .
"APNI mencatat total ada 28 lini yang terdampak, dengan 25 lini milik GNI," ungkap Djoko.
2. PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS)
Menurut APNI, ITSS telah menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling atau jalur rol pada suhu di bawah titik rekristalisasi logam untuk memproses baja tahan karat mereka sejak Mei 2025.
3. PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe
"Mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik," kata Djoko.
4. PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI)
Berdasarkan data APNI, HNAI telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025.
Lebih detail, Djoko menyebut, HNAI telai merumahkan pekerja di smelter mereka sejak 1 Juli 2025.
"Dimulai (dirumahkan) sejak 1 Juli 2025, 350 pekerja dirumahkan tanpa surat resmi dan sisanya mendapatkan memo sejak 15 Juli 2025," jelas Djoko.
Baca Juga: Pasokan Domestik Tersendat, Impor Nikel dari Filipina Berpotensi Melonjak
Terkait faktor penyebab dari pengurangan produksi, Djoko bilang berdasarkan data APNI, keempatnya memiliki penyebab berbeda. Sebagai berikut:
1. PT GNI: Harga nikel yang rendah, konflik sosial dan listrik yang mahal
2. PT Huadi (HNAI): Harga nikel turun dan permintaan stagnan
3. PT ITSS: Adanya tekanan oversupply dan tekanan dari pasar baja nirkarat global
4. PT VDNI: Karena adanya efisiensi kapasitas dan transisi ke ke smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL)
Baca Juga: Genjot Kinerja, Vale Indonesia (INCO) Antisipasi Pelemahan Harga Nikel Global
Menurut Djoko, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah terkait penutupan smelter-smelter nikel ini.
"Perlu adanya formulasi dari Harga Patokan Mineral (HPM) agar lebih mencerminkan realitas pasar global, terutama saat harga LME anjlok," ungkapnya.
Menurut APNI, perlu ada juga kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bijih nikel agar suplay stabil dan berkelanjutan.
"Prioritaskan suplai untuk smelter yang berkomitmen hilirisasi dalam negeri," kata dia.
Selain itu, menurutnya Indonesia perlu mengakses pasar ekspor barang hilir nikel yang baru, termasuk negosiasi bebas bea atau kuota dengan negara mitra lainnya.
"Seperti kepada India, Turki, Uni Emirat Arab dan Afrika," tutupnya.
Selanjutnya: Penggunaan Dana Desa untuk Jaminan Pinjaman Kopdes Merah Putih Sangat Berisiko
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Weekday 29-31 Juli 2025, Ayam Kampung Diskon hingga Rp 22.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News