Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Saat ini, beredar pemberitaan yang mempertanyakan komitmen dan konsistensi pemerintah -dalam hal ini Kementerian ESDM- dalam menangani persoalan PT Freeport Indonesia. Staf Khusus Menteri ESDM Hadi Djuraid, menanggapi hal ini.
Dia menjelaskan, tidak sedikit pihak yang menghakimi Pemerintah saat ini dengan sebutan tidak konsisten, melunak, dipecundangi, dan sebagainya. Terkait hal itu, ia meminta agar publik dan pihak-pihak berkepentingan tidak tersesat oleh informasi yang tidak akurat dan tidak sesuai fakta.
Dia juga menyampaikan sejumlah hal sebagai bentuk klarifikasi atas berbagai isu yang berkembang.
Dalam berunding dengan Freeport, menurut Hadi, Kementerian ESDM mengacu dan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan PP Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Minerba.
Atas dasar itu, posisi dan sikap Kementerian ESDM adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51%.
"Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," terangnya melalui siaran tertulis yang diterima KONTAN, Kamis (6/4).
Sebelumnya, dalam konferensi pers 10 Februari 2017, CEO Freeport McMoran Richard Adkerson tegas menolak perubahan KK menjadi IUPK, menolak membayar bea keluar ekspor konsentrat, dan menolak divestasi saham 51%. Ditambah lagi, Freeport juga akan membawa masalah ini ke arbitrase internasional jika dalam 120 hari tidak tercapai kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia.
"Dengan demikian, ketika mengawali perundingan pada Februari 2017, standing position kedua belah pihak sangat jelas. Kedua belah pihak sepakat membagi perundingan dalam dua tahap, yaitu perundingan jangka pendek dan perundingan jangka panjang. Jangka waktu perundingan adalah enam bulan, terhitung sejak Februari 2017," ungkapnya.
Adapun fokus perundingan jangka pendek adalah perubahan KK menjadi IUPK. Perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya. Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi FI di Timika, Papua, kembali normal sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika khususnya dan Papua umumnya.
Setelah empat pekan berunding, Freeport sepakat menerima IUPK. Meski demikian Freeport meminta perpanjangan waktu perundingan dari enam bulan sejak Februari menjadi delapan bulan sejak Februari. Maka dari itu, Kementeran ESDM menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah enam bulan.
"Enam bulan adalah waktu tersisa untuk perundingan jangka panjang, meliputi pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut Freeport sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi Freeport, dan divestasi saham 51%," ungkapnya.
Divestasi saham
Sesuai PP 1/2017, kata Hadi, pemegang IUPK bisa mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk enam bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan divestasi saham hingga 51%. Poin tentang divestasi akan masuk dalam pembahasan jangka panjang.
Nantinya, progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setelah enam bulan. Jika hasil verifikasi menunjukkan progres pembangunan smelter tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui K-ESDM, maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
"Ketentuan tersebut berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali. Prosedur ini telah ditempuh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (d/h Newmont)," jelasnya.
Dengan demikian, tambah Hadi, jelas bahwa landasan operasi Freeport dalam enam bulan ke depan adalah IUPK. Alhasil target perundingan jangka pendek telah tercapai, termasuk kembali normalnya operasi Freeport di Timika sehingga ekses sosial dan ekonomi yang terjadi sejak pelarangan ekspor FI pada 12 Januari 2017 tidak meluas dan berkepanjangan.
"Perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April, dengan landasan yang kokoh, yaitu IUPK. Perundingan melibatkan instansi/lembaga terkait, di antaranya Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, Pemrov Papua -termasuk di dalamnya Pemkab Timika dan wakil masyarakat adat di Timika," jelasnya.
Namun demikian, apabila setelah enam bulan ke depan tidak tercapai kesepakatan terkait poin-poin perundingan jangka panjang di atas, Freeport bisa kembali ke Kontrak Karya dengan konsekwensi tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.
"Dengan demikian cukup jelas dan gamblang bahwa Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM konsisten pada komitmen mewujudkan hilirisasi mineral, serta memperkuat kedaulatan nasional melalui kepemilikan 51% saham," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News