Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah kabar adanya pencabutan wajib pasok batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25%. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) memastikan belum ada keputusan baru, sehingga kebijakan tersebut masih berlaku.
"Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan baru terkait DMO. Jadi sampai saat ini kebijakan DMO masih seperti tahun lalu, belum ada perubahan," jelas Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Wafid Agung saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (16/8).
Baca Juga: Produsen batubara komitmen penuhi kewajiban DMO 25%
Asal tahu saja, hari ini beredar kabar adanya pencabutan kewajiban DMO batubara. Kabar yang menghebohkan pasar itu menyebutkan, pencabutan DMO dilakukan untuk menggenjot ekspor demi menambah pemasukan dan devisa negara.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia bahkan mengaku baru mengetahui kabar tersebut. Hendra bilang, pihaknya bersama pemerintah belum melakukan pembahasan khusus terkait dengan keberlanjutan DMO.
Menurut Hendra, pelaku usaha tidak merasa keberatan dengan adanya DMO, lantaran kebijakan ini sejatinya sudah berlaku sejak lama. "Dari dulu kita sudah dukung, dari PKP2B generasi pertama ditanda tangani kan kewajiban DMO sudah ada," katanya.
Sekali pun nantinya akan ditinjau kembali, sambung Hendra, hal itu bukan untuk mempermasalahkan kebijakan DMO. Melainkan untuk meninjau harga acuan DMO khusus untuk kelistrikan yang dipatok sebesar US$ 70 per ton.
Hendra menilai, harga khusus tersebut menjadi tidak begitu relevan ketika Harga Batubara Acuan (HBA) saat ini sudah berada dikisaran US$ 71 per ton. "Mungkin itu yang perlu ditinjau lagi, kan harga sudah turun," jelasnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Ada 34 perusahaan yang mengajukan tambahan kuota produksi batubara
Selain itu, Hendra juga menekankan pentingnya untuk menyelaraskan antara persentase DMO, volume produksi nasional, serta kebutuhan batubara dalam negeri. Menurut Hendra, besaran DMO 25% bisa saja menjadi tidak relevan lagi jika volume produksi batubara nasional kembali meroket, namun di sisi lain volume kebutuhan batubara dalam negeri tidak meningkat signifikan.
Kondisi ketidak seimbangan tersebut, imbuh Hendra, cukup mengkhawatirkn pelaku usaha. "Ada kekhawatiran realisasi produksi lebih besar. Jika begitu, pemerintah nanti perlu mempertimbangkan lagi apakah 25% itu relevan," ungkapnya.