Reporter: Merlinda Riska | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengusulkan, penanaman lahan perkebunan plasma (kemitraan dengan petani) dilakukan setelah lahan perkebunan inti beroperasi selama tiga tahun.
Setelah itu, barulah perkebunan plasma seluas 20% dari luas perkebunan inti ditanam oleh perusahaan kelapa sawit. Usulan dari GAPKI ini terkait dengan rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Pertanian No 26/2007.
Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan bilang, pemberian waktu 3 tahun kepada perusahaan kelapa sawit diperlukan, agar perusahaan bisa mempersiapkan perkebunan inti terlebih dahulu.
“Kami kesulitan harus menanam kebun plasma dalam jangka waktu 2 tahun. Sebab, pinjaman perbankan untuk kebun plasma baru bisa cair usai kebun inti terbangun. Maka itu kami bangun kebun inti dulu, setelah itu baru kebun plasma,” terang Fadhil kepada KONTAN (27/6).
Walau pembangunan inti dilakukan bertahap, yang terpenting, pinjaman perbankan cair untuk bangun plasma setelah 3 tahun kebun inti tertanam. Sehingga, alasan waktu 3 tahun bukanlah alasan bahwa pengusaha sawit tidak peduli terhadap masyarakat sekitar. “Tetapi, memang skema perbankan yang menyulitkan,” terangnya.
Sementara, untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki lahan 20% untuk plasma, maka GAPKI menyetujui usulan pemerintah, yaitu mengadakan pemberdayaan untuk masyarakat atau corporate social responsibility (CSR).
Terkait adanya rekomendasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dari pemerintah pusat, GAPKI juga menyetujuinya. Fadhil bilang, rekomendasi dari pemerintah pusat tersebut mampu mencegah atau mengurangi sengketa lahan. “Rekomendasi dari pusat diperlukan, agar kebijakan sejalan dengan pemerintah daerah,” tambah Fadhil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News