Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyoroti kebijakan pemerintah yang mengerek harga jual eceran (HJE) rokok yang diberlakukan pada 2025 mendatang.
Kebijakan ini sendiri tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 97 Tahun 2024. Langkah ini dilakukan pemerintah untuk mendukung pengendalian konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau padat karya, dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Dalam beleid ini, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Namun, pemerintah menaikkan HJE pada hampir seluruh produk tembakau mulai 1 Januari 2025.
Baca Juga: Naikkan Harga Jual Eceran Rokok per 1 Januari 2025, Ini Tujuan Pemerintah
Bebani industri tembakau
Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, kenaikan HJE jelas membebani industri tembakau, mengingat rata-rata kenaikannya berada di angka dua digit atau 10,5%. Bahkan, sigaret kretek tangan (SKT) mengalami kenaikan HJE hingga 14,07%, sehingga berpotensi membuat harga-harga rokok naik.
Beban makin berat lantaran kenaikan PPN menjadi 12% hampir pasti berlaku tahun depan. Di sisi lain, kenaikan upah mininum provinsi (UMP) belum tentu mendorong daya beli konsumen, justru bisa makin memberatkan produsen tembakau yang sudah ditimpa berbagai beban pengeluaran.
Kenaikan komponen-komponen seperti HJE, PPN, hingga upah jelas akan mengerek harga jual rokok. Jika harga rokok sudah di atas nilai keekonomian, maka tren rokok murah akan berlanjut.
Semakin banyak konsumen yang beralih ke rokok murah, apalagi sebagiannya adalah rokok ilegal, kemungkinan besar akan membuat produksi rokok nasional menyusut.
“Jika ini terjadi, kami kira yang justru untung adalah penjual rokok ilegal yang tidak terbebani oleh pungutan sebagaimana rokok legal,” ujar Henry, Sabtu (14/12).
Baca Juga: Sri Mulyani Terbitkan Aturan Baru Harga Jual Eceran Rokok 2025, Ini Rinciannya
Produksi rokok turun
Gappri sendiri belum memiliki angka pasti terkait proyeksi produksi rokok nasional pada 2025 mendatang. Hal ini mengingat ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi produksi rokok di Indonesia.
Terlepas dari itu, Henry menyebut, dalam 10 tahun terakhir produksi rokok di dalam negeri cenderung turun di level 0,78%. Kemungkinan besar tren penurunan produksi rokok akan berlanjut.
“Yang kami khawatirkan utamanya adalah penurunan produksi pada jenis SKT yang pada karya, karena kenaikan HJE dan pungutan lain akan memicu penurunan permintaan yang berakibat pada nasib pekerja,” kata dia.
Gappri juga menyebut, kenaikan HJE yang tinggi pada SKT akan membuat perederan rokok ilegal makin marak. Perlu diingat, selama ini SKT memiliki harga jual yang terjangkau sehingga membuat rokok tersebut menjadi tameng dalam menghadapi serbuan rokok ilegal.
“Jika rokok jenis SKT tidak lagi kompetitif, kami kira rokok ilegal akan semakin banyak di pasaran,” tutur Henry.
Baca Juga: Kendalikan Konsumsi, Harga Rokok Makin Mahal per 1 Januari 2025
Padahal, lanjut dia, Gappri pernah memohon kepada pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar industri tembakau memperoleh relaksasi dengan tidak menaikkan tarif CHT dan HJE sepanjang tahun 2025—2027.
Permohonan ini dimaksudkan agar industri tembakau bisa pulih usai mengalami kontraksi akibat dampak CHT dan HJE di atas nilai keekonomia selama 2020—2024, selain akibat dari pendemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih.
Selanjutnya: Inilah Code Redeem Blox Fruits Desember 2024 lengkap Cara Klaimnya di Roblox
Menarik Dibaca: Minuman yang Ampuh Turunkan Kadar Gula Darah Tinggi, Cek Daftarnya Yuk!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News