Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran membantah kabar rencana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus.
Menurutnya, informasi tersebut sama-sekali tidak benar dan menyesatkan. Dia mengutarakan, kabar kenaikan harga jual rokok sebesar itu merupakan kabar bohong dan sengaja membuat diciptakan untuk membuat kegaduhan dan berubah menjadi kekacauan ekonomi.
Alasannya, mata rantai industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia melibatkan banyak elemen masyarakat dan bisa memicu sensitivitas tinggi di masyarakat.
Dia mengatakan, industri hasil tembakau merupakan industri berbasis pertanian dan diprediksi memberi konstribusi kurang lebih Rp 170 triliun di 2017 nanti melalui setoran cukai dan pajak.
Menurutnya, dalam kebijakan kenaikan tarif cukai rokok, pemerintah mempunyai mekanisme yang harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. “Setiap rencana kenaikkan selalu didiskusikan dengan industri,” kata Ismanu dalam keterangan persnya, Senin (22/8).
Pemerintah melalui RAPBN 2017 telah menetapkan target penerimaan cukai dari industri hasil tembakau sebesar Rp 149,9 triliun atau naik 5,8 % dari APBN 2016 Perubahan sebesar Rp 141,7 triliun.
Target itu dibacakan Pemerintah pada Nota Keuangan RAPBN 2017 di depan DPR RI. Secara umum, target penerimaan cukai di RAPBN 2017 berasal dari cukai hasil tembakau Rp 149,878 triliun, cukai ethyl alcohol (EA) sebesar Rp 150 miliar, dan cukai minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA) Rp 5,53 triliun serta pendapatan cukai lainnya Rp 1,6 triliun.
“Penentuan target pendapatan cukai itu diarahkan untuk mengendalikan konsumsi barang kena cukai, bukan untuk mematikan apalagi memusnahkan," kata Ismanu.
"Semua telah diatur dalam undang-undang bahwa pengendalian dilakukan melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan tarif cukai EA-MMEA,” lanjutnya.
Dia juga menegaskan, keinginan mengerek harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus merupakan wacana yang sulit dipertanggungjawabkan.
Produksi rokok di Indonesia 94 % diantaranya merupakan jenis kretek. Di dunia, rokok kretek hanya ada di Indonesia.
Industri kretek di Indonesia saat ini mencapai 600 buah. Menurutnya, keaneragaman bahan baku kretek, membuktikan kretek adalah khasanah industri bangsa yang berbeda dengan industri sejenis di negara lain.
Industri ini mempekerjakan kurang lebih 6 juta orang. "Kalau 1 orang menafkahi 3 orang, berarti 24 juta orang menggantungkan hidupnya dari kretek," kata Ismanu.
Untuk menjaga keberadaan industri kretek, GAPPRI selalu mendukung keputusan pemerintah soal tarif cukai maupun aturan lain yang mengikat dan mengawasi industri hasil tembakau.
“Kami konsisten dalam menjalankan keputusan pemerintah," sebut Ismanu.
Menurutnya, rokok kretek di Indonesia karakternya seperti cerutu di Kuba atau bidis di India dan teugela di Meksico yang masing-masing merupakan produk khas masing-masing negara. (Chairul Arifin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News