Reporter: Abdul Basith Bardan | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemblokiran impor minyak sawit oleh Amerika Serikat (AS) terhadap perusahaan Malaysia merupakan kasus khusus.
Hal itu diyakini Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga tak akan berkepanjangan menjadi aksi jegal. Meskipun terdapat kampanye negatif yang berkaitan pada isu ketenagakerjaan dalam industri sawit.
"Rasanya tidak begitu casenya (aksi jegal), dan jangan lupa kebutuhan dunia akan minyak nabati per tahun meningkat 3,4% per tahun atau 7,4 juta ton," ujar Sahat saat dihubungi Kontan.co.id akhir pekan lalu.
Sahat bilang negara pengguna minyak nabati masih membutuhkan sawit. Pasalnya sawit merupakan bahan baku minyak nabati yang paling efisien.
Baca Juga: AS blokir sawit dari perusahaan Malaysia, DMSI: Satu peringatan buat Indonesia
"Memusuhi sawit atau memboikot sawit adalah malapetaka bagi dunia akan pemenuhan kebutuhan vegetable oil di pasar global," terang Sahat.
Sebelumnya perusahaan asal Malaysia FGV Holdings Berhad diblokir oleh pihak AS. Salah satu alasannya adalah akibat kerja paksa yang dilakukan perusahaan tersebut.
Diboikotnya perusahaan besar tersebut diakui Sahat bisa menjadi peluang bagi minyak sawit Indonesia. Meski begitu sejumlah syarat juga harus dipenuhi untuk memastikan tak melanggar ketentuan AS.
Indonesia harus menjamin tak ada pelanggaran dalam tenaga kerja pada industri sawit Indonesia. Selain itu sertifikasi keberlanjutan juga penting untuk pasar global.
"Kalau kedua kondisi ini bisa dipenuhi , bukan hal yang mustahil CPO Indonesia bisa memenuhi kebutuhan AS," jelas Sahat.
Namun, Sahat bilang saat ini ekspor minyak sawit Indonesia pun terus turun akibat meningkatnya serapan domestik. Oleh karena itu peluang tersebut belum tentu akan dimanfaatkan oleh Indonesia.
Selanjutnya: Simak prospek saham perkebunan usai AS melarang impor CPO dari perusahaan Malaysia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News