Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan mencatat peningkatan impor barang konsumsi sebesar 7,28% secara tahunan (year-on-year) hingga Mei 2025. Salah satu penyumbang terbesar lonjakan ini adalah impor mobil listrik (Electric Vehicle/EV), seiring melonjaknya permintaan domestik.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, tren kenaikan impor EV ini merupakan dampak langsung dari kebijakan pemerintah yang pro-kendaraan listrik.
Kebijakan tersebut mencakup pembebasan bea masuk, diskon PPN hingga 100%, serta berbagai insentif lainnya yang membuat harga mobil listrik lebih terjangkau bagi konsumen.
“Minat terhadap EV meningkat karena masyarakat mulai melihatnya sebagai gaya hidup baru, lebih hemat operasional, teknologinya canggih, dan lebih nyaman untuk penggunaan sehari-hari. Apalagi di kota besar seperti Jakarta, mobil listrik punya keunggulan dengan bebas aturan ganjil-genap,” jelas Yannes kepada Kontan, Kamis (10/7).
Baca Juga: Harga Gabah di Atas Harga Eceran Tertinggi, Produksi Beras Terancam Mandek
Selain didorong faktor harga dan gaya hidup, peningkatan impor juga disokong masuknya investasi asing dari produsen kendaraan listrik global. Produsen melihat Indonesia sebagai pasar potensial sekaligus bagian dari strategi ekspansi mereka.
Hal ini ditunjukkan dari maraknya peluncuran model baru dengan harga bersaing, percepatan pembangunan infrastruktur charging station, dan kolaborasi antara BUMN seperti PLN dan Pertamina dengan sektor swasta.
Namun di balik tren positif tersebut, Yannes mengingatkan adanya risiko jika lonjakan impor tidak dikontrol dengan baik.
“Kalau hanya jadi pasar dan tidak memperkuat produksi lokal, kita bisa tergantung pada produk impor, terutama dari Tiongkok. Ini juga bisa menekan produsen yang sudah investasi di Indonesia seperti Hyundai dan Wuling,” ujarnya.
Pemerintah sejatinya telah mengantisipasi hal tersebut dengan menetapkan kebijakan bahwa investor yang memanfaatkan insentif impor wajib memproduksi kendaraan secara lokal mulai 2026. Targetnya, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) harus mencapai 40–60%.
“Ini kunci untuk menjaga keseimbangan. Indonesia tidak boleh hanya menjadi nett market, tetapi juga pusat produksi EV di Asia Tenggara,” tegas Yannes.
Ia menambahkan, penguatan industri lokal akan didorong oleh pembangunan pabrik baterai seperti di Karawang, yang diperkirakan membuka ribuan lapangan kerja baru dan mempercepat transfer teknologi.
Menurut Yannes, lonjakan impor EV memang berisiko bagi produsen lokal dalam jangka pendek karena persaingan harga dan teknologi, namun dalam jangka panjang, tren ini justru dapat menjadi fondasi bagi kemandirian industri otomotif nasional, asal dikawal dengan kontrol kebijakan yang konsisten dan ketat.
Baca Juga: BYD Jual 14.000 Mobil Listrik Semester 1 2025, Cek Harga Dolphin Atto M6 Denza Juli
Selanjutnya: Harga Saham MERI, CHEK, BLOG, dan PMUI Bergerak Bervariasi, Ini Saran Analis
Menarik Dibaca: Mulai Hari Ini Pemesanan Tiket Kereta KAI Bisa Lebih Dekat dengan Waktu Keberangkatan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News