Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi dan distribusi beras nasional tengah menghadapi tekanan serius. Sejumlah perusahaan penggilingan beras mulai menghentikan atau mengurangi produksi akibat harga bahan baku yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), ditambah dengan tekanan regulasi yang belum beradaptasi dengan kondisi pasar saat ini.
Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AP2TI), Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, situasi ini harus segera mendapat perhatian serius dari pemerintah karena menyangkut ketahanan pangan nasional.
“Bukan hanya tiga perusahaan. Banyak perusahaan beras sekarang menghentikan produksi. Kalau ini terus berlanjut, bisa jadi masalah besar bagi kita,” ujar Andreas kepada Kontan, Kamis (10/7).
Andreas mengungkapkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) saat ini sudah jauh melampaui angka Rp6.500 per kg, yang sebelumnya dianggap sebagai acuan wajar. Di lapangan, ia mencatat harga gabah sudah mencapai atau bahkan melebihi Rp7.000 per kg.
Baca Juga: PERPADI Minta Pemerintah Segera Kaji Ulang Harga Eceran Tertinggi Beras
Kenaikan harga gabah ini otomatis mendorong biaya produksi beras naik. Untuk menghasilkan 1 kg beras medium, perusahaan harus mengeluarkan biaya sekitar Rp14.300, sementara HET yang berlaku masih Rp12.500. Untuk beras premium, biaya produksinya bisa mencapai Rp15.500, sedangkan HET masih di angka Rp14.900.
“Bagaimana mungkin perusahaan bisa menjual di bawah harga produksi? Kalau mereka paksakan, merugi. Kalau jual di atas HET, dikejar Satgas Pangan. Jadi mereka pilih berhenti produksi,” kata Andreas.
Ia juga menyoroti tindakan pemerintah yang justru menyalahkan pedagang atau penggilingan beras, alih-alih menyesuaikan kebijakan harga atau mendukung pelaku usaha agar tetap bisa beroperasi di tengah tekanan pasar.
“Pemerintah justru menakut-nakuti pelaku usaha. Padahal dalam tata kelola pangan, pemerintah hanya menguasai 10% stok. Sisanya dikuasai swasta. Kalau swasta mogok, selesai kita,” tegasnya.
Menurut pantauan Andreas selama dua minggu terakhir di 11 kabupaten di Pulau Jawa, harga gabah di seluruh wilayah telah mengalami lonjakan yang signifikan.
Ini diperparah oleh pasokan terbatas dan panen raya yang sudah berlalu, sehingga memicu kelangkaan beras dan potensi kenaikan harga di tingkat konsumen.
Ia juga menyebut adanya laporan dari sejumlah perusahaan yang telah mengirimkan surat pemberitahuan penghentian produksi kepada asosiasi.
“Ada surat-surat dari perusahaan A, B, C, D yang menyatakan berhenti produksi karena harga bahan baku terlalu mahal. Ini nyata dan makin banyak,” katanya.
Lebih lanjut, Andreas menilai langkah pemerintah mempertahankan HET yang tidak realistis justru berpotensi memperparah krisis.
“Kalau tetap mau pakai HET, ya sesuaikan segera. Kalau tidak bisa, lebih baik biarkan harga beras mengikuti mekanisme pasar. Jangan sampai pemerintah menciptakan ketakutan di sektor swasta, padahal mereka penopang utama pangan nasional,” pungkasnya.
Baca Juga: Harga Beras Lewati HET Saat Stok Berlimpah
Selanjutnya: Mulai Hari Ini Pemesanan Tiket Kereta KAI Bisa Lebih Dekat dengan Waktu Keberangkatan
Menarik Dibaca: Mulai Hari Ini Pemesanan Tiket Kereta KAI Bisa Lebih Dekat dengan Waktu Keberangkatan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News