Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) menekankan pentingnya perbaikan tata kelola kelapa sawit di Indonesia dalam menghadapi gugatan yang diajukan oleh Indonesia terkait kebijakan Uni Eropa terkait Indirect Land Use Change (ILUC).
Ketua Dewan Pembinan POPSI Gamal Nasir mengatakan meskipun gugatan ke WTO sudah dilakukan, semua pemangku kepentingan kelapa sawit harus memperbaiki diri, terutama pemerintah sebagai regulator.
"Kebijakan UE yang diskriminatif dan diimplementasikan tanpa memperhatikan kondisi Indonesia akan merugikan petani sawit dan mengabaikan upaya perbaikan yang telah dilakukan," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (31/3).
Gamal melanjutkan, semua pemangku kepentingan harus menerapkan prinsip semua ikut serta, tidak boleh ada yang tertinggal (leave no one behind) dalam sustainable.
Baca Juga: Banyak Tantangan, Industri Hilir Kelapa Sawit Butuh Dukungan Pemerintah
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemetaan tata guna lahan yang akurat dan menerapkan kebijakan yang tegas terkait pelarangan pemanfaatan kawasan high conservation value dan high carbon stock, serta memastikan legalitas lahan perkebunan sawit rakyat yang terlanjur berada dalam kawasan hutan melalui kebijakan pelepasan kawasan hutan sesuai regulasi yang berlaku.
Pahala Sibuea Ketua Umum POPSI, menambahkan dalam menghadapi Undang undang Deforestasi UE ini kita tidak perlu emosional namun perlu diplomasi yang kuat.
"Kita tunjukan bahwa sebelum terbitnya Undang-Undang Deforestasi UE ini kita sudah melakukan perbaikan tatakelola sawit menuju sustainable," terangnya.
Menurutnya ini diawali dengan terbitnya regulasi RAN-KSB (Inpres No. 6 Tahun 2019) dan regulasi ISPO (perpres No. 4 tahun 2020 dan Permentan No. 38 tahun 2020), hanya tinggal pelaksanaannya apakah pemerintah dan stakeholder sawit lainnya dapat membiayai, sedangkan kami dari POPSI siap melaksanakan regulasi tersebut.
Baca Juga: Indonesia Tunggu Hasil Putusan Gugatan Diskriminasi Sawit di WTO
Selain itu, pemerintah perlu membangun ketelusuran kelapa sawit dari hulu ke hilir berbasis dokumen dan sistem informasi yang transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Pemerintah harus serius dengan regulasi ISPO yang sudah dibuat dan memastikan petani bisa bersertifikat ISPO tahun 2025.
POPSI juga menyatakan bahwa dalam menghadapi UU Deforestasi UE, Indonesia perlu menggunakan diplomasi yang kuat dan menunjukkan bahwa sudah melakukan perbaikan tata kelola sawit menuju keberlanjutan sebelum terbitnya UU tersebut, seperti dengan terbitnya regulasi RAN-KSB (Inpres No. 6 Tahun 2019) dan regulasi ISPO (perpres No. 4 tahun 2020 dan Permentan No. 38 tahun 2020).
POPSI juga merencanakan pembuatan aplikasi untuk memetakan petani sawit dalam pembinaan dan pendampingan.
Baca Juga: Ancaman Malaysia: Kami Bisa Hentikan Ekspor Minyak Sawit ke Uni Eropa
Dalam hal ini, pemetaan dapat dilakukan dengan menggunakan big data petani dengan konsep by name by adress by polygon yang sesuai dengan konsep pendataan surat tanda daftar budidaya (STDB).
Meskipun masih ada hambatan dalam implementasi dan keterbukaan data pribadi, Pemetaan ini dianggap penting untuk memperbaiki tata kelola kelapa sawit di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News