kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga batubara acuan (HBA) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 66,3 per ton


Jumat, 06 Desember 2019 / 19:11 WIB
Harga batubara acuan (HBA) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 66,3 per ton
ILUSTRASI. Aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 66,3 per ton. Nilai itu naik tipis sebesar 0,045% dibandingkan HBA November yang berada di angka US$ 66,27 per ton.

Meski HBA tahun ini ditutup dengan kenaikan tipis, namun secara rerata tahunan, HBA tahun 2019 menjadi yang terendah selama dua tahun terakhir.

Baca Juga: Kemenkeu ikat aset perusahaan batubara hingga Rp 37,612 triliun

Rerata HBA dari Januari-Desember 2019 hanya mencapai US$ 77,89 per ton, lebih mini dibanding rerata HBA tahun 2017 yang sebesar US$ 85,92 per ton, dan HBA tahun 2018 yang mencapai US$ 98,96 per ton.

Sejak September 2018, tren harga batubara memang tertekan. Bahkan HBA Oktober menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Sejak September 2018, HBA nyaris selalu menurun dan hanya tiga kali mencatatkan kenaikan yang tipis secara bulanan, yakni pada bulan Agustus, November, dan Desember.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, penyebab melemahnya tren harga batubara tidak lah tunggal.

Baca Juga: Ini daftar lengkap para jawara Golden Property Awards 2019

Selain karena faktor eksternal seperti pelambatan ekonomi global yang mempengaruhi permintaan, Hendra mengatakan bahwa kondisi pasar yang masih kelebihan pasokan alias oversupply juga menjadi faktor yang dominan.

Hendra menyebut, kondisi tersebut terjadi lantaran adanya pelonggaran produksi dari pemerintah yang menyebabkan realisasi produksi kembali melampaui target. Hendra mengatakan, produksi dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di daerah sulit dikontrol, sehingga menyebabkan realisasi produksi secara nasional melonjak.

Kondisi itu, sambung Hendra, terbaca oleh pasar sehingga membuat harga tertekan. "Pasar pasti melihat itu, ekspansi masih tinggi. Sulit dikendalikan lonjakan produksi dari daerah," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Jum'at (6/12).

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengamini hal tersebut. Menurutnya, sebagai eksportir batubara terbesar di dunia, kebijakan produksi batubara Indonesia akan sangat menentukan pergerakan harga.

Baca Juga: Pemerintah Gandeng Denmark untuk kembangkan EBT di 4 Provinsi

"Justru penurunan bisa terjadi akibat asumsi pasokan batubara Indonesia yang berlebih. Mengingat Indonesia sebagai eksportir terbesar dunia, kepastian pasokan dan bahkan berlebih mendorong harga menjadi tertekan," ujar Singgih.

Adapun, menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, tren pelemahan harga batubara tak lepas dari pelemahan ekonomi global sebagai efek domino dari perang dagang Amerika Serikat dan China. "Ketika ekonomi sedang lesu, konsumsi energi juga kena dampaknya," kata Irwandy.

Baca Juga: Anak usaha Adaro Energy (ADRO) menerbitkan obligasi US$ 750 juta pada Oktober 2019

Selain karena pelemahan ekonomi, Irwandy mengatakan bahwa penggunaan energi alternatif juga menjadi penyebab penurunan konsumsi batubara. Ia mencontohkan, India yang menurunkan konsumsi batubara sejak April tahun ini. 

Irwandy bilang, penurunan ini menjadi yang pertama dalam 10 tahun terakhir, yang terjadi akibat peningkatan suplai energi alternatif berupa tenaga air dan tenaga nuklir. "Selain India, Tiongkok juga meningkatkan komitmennya untuk mensubstitusi batubara dengan sumber energi ramah lingkungan," kata Irwandy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×