Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, kenaikan permintaan energi di sektor industri mendorong kebutuhan batubara. Apalagi Purchasing Manager Index manufactur China semakin pulih di atas 50%.
Meski demikian, rebound harga untuk jangka panjang perlu memperhatikan sejumlah hal, terutama dinamika di pasar global. "Pola demand jangka panjang negara importir, policy atas energi dan emisi, juga tentunya kompetitor Indonesia yang memperkuat ke pasar India menjadi faktor juga bahwa bisa jadi rebound jangka panjang akan naik secara perlahan. Bukan sama dengan kenaikkan indeks akibat pasar spot," jelas Singgih.
Sebagai informasi, secara keseluruhan, rerata HBA pada 2020 sebesar US$ 58,17 per ton. Dalam catatan Kontan.co.id, rerata HBA tahun ini anjlok dibanding tahun lalu yang sebesar US$ 77,89 per ton. Apalagi jika dibandingkan tahun 2018 yang menyentuh level tertinggi yakni US$ 98,96 per ton. Rerata HBA 2020 juga menjadi yang terendah sejak 2015 yang saat itu masih dilevel US$ 60 per ton.
Namun, Hendra Sinadia mengatakan, penurunan harga komoditas dan indeks batubara pada tahun ini lebih disebabkan dampak pandemi. "Itu mengakibatkan rendahnya demand akibat kebijakan lockdown, pembatasan di berbagai negara sementara dari sisi supply relatif masih stabil meskipun mengalami penurunan," jelas Hendra.
HBA sendiri diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platts 5900 pada bulan sebelumnya. Kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kilogram GAR.
HBA menjadi acuan dalam jual beli komoditas batubara (spot) selama bulan tersebut, pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).
Selanjutnya: Ekspor batubara ke China meningkat, kontraktor jasa pertambangan masih wait and see
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News