kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga jual produk kemasan batal naik


Senin, 24 Maret 2014 / 07:34 WIB
Harga jual produk kemasan batal naik
ILUSTRASI. Dewan Komisaris dan Direksi PT Acset Indonusa Tbk usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) kiri-kanan: Idot Supriadi (Presiden Direktur), Frans Kesuma (Presiden Komisaris), dan David Widjaja (Direktur).


Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina

JAKARTA. Pengusaha industri kemasan tak jadi menaikkan harga jual produk. Hal ini menyusul keluar keputusan pemerintah yang tidak menyetujui rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) atas polyethylene terephthalate (PET) impor. Padahal, semula KADI merekomendasikan pengenaan bea 0%-18% untuk impor PET.


Atas kebijakan tesebut, Hendro Baroeno, Ketua Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) meyakinkan bahwa industri air minum dalam kemasan (AMDK) tidak jadi menaikkan harga. Asal tahu saja, industri AMDK adalah salah satu yang paling banyak menggunakan PET.


Menurut kajian Aspadin, setiap kenaikan 1% BMAD PET memicu kenaikan harga jual produk makanan minuman dalam kemasan sebesar 0,18%. Lalu, setiap kenaikan harga jual produk sebesar 1%, menurunkan permintaan sebesar 0,19%.


Aspadin pun menghitung, buntut dari rentetan sebab-akibat tersebut adalah industri bisa kehilangan pasar hingga Rp 4,5 triliun. "Pasar yang hilang ini bisa direbut produk impor yang memasang harga lebih murah," beber Hendro.


Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia Ariana Susanti mengatakan, selain industri kemasan, industri kosmetik juga banyak menggunakan bahan PET. Dia menjelaskan, kontribusi biaya pembelian PET terhadap total biaya produksi mencapai 60%.


Masalahnya, mayoritas kebutuhan PET dalam negeri disokong impor. Alhasil, jika kemarin pemerintah ketok palu memberlakukan BMAD PET, Ariana bilang, industri kemasan bisa terkena dua risiko sekaligus. Pertama, biaya tambahan untuk BMAD. Kedua, risiko fluktuasi nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah.


Hendro mengamini pendapat ini. Dia bilang, industri mengimpor PET lantaran pasokan dalam negeri tak mencukupi. Hal ini terjadi karena dari 467.000 ton produksi PET dalam negeri, 250.000 ton diekspor. Nah, dari sisa produk yang tak diekspor itu, dalam negeri ternyata masih butuh pasokan 167.000 ton lagi.


Sekadar informasi, PET adalah plastik yang dihasilkan dari pengolahan mono-ethylene glycol (MEG) dan asam tereftalat. Adapun MEG berasal dari hasil pengolahan etilena, produk turunan nafta. Sementara asam tereftal yang dimurnikan atau purified terephthalic acid berasal dari paraksilena yang merupakan produk turunan kondesat gas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×