Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Kendati begitu, perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki kontrak jangka panjang tentu harus tetap memproduksi dan mengirimkan batubara sesuai kontrak. "Namun bagi kontrak spot itu tergantung dari perusahaan masing-masing," pungkasnya.
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengakui bahwa sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global sepanjang tahun 2020, HBA terus tertekan. HBA memang sempat menguat sebesar 0,28% pada angka US$ 67,08 per ton di bulan Maret dibanding bulan Februari yang US$ 66,89 per ton.
Namun HBA terus mengalami pelemahan ke angka US$ 65,77 per ton di bulan April dan US$ 61,11 per ton di bulan Mei. Selanjutnya di bulan Juni merosot lagi ke angka US$ 52,98 per ton dan berlanjut di Juli menjadi US$ 52,16 per ton. Pada bulan Agustus HBA dipatok US$ 50,34 per ton dan menjadi US$ 49,42 di September ini.
Baca Juga: Rata-rata harga jual emiten batubara turun, ini rekomendasi analis
Menurut Agung, sentimen utama dari kontraksi HBA disebabkan oleh pengetatan kebijakan impor Tiongkok dan India. Kondisi ini berujung pada cadangan batubara di kedua negara tersebut melimpah sehingga kebutuhan impor batubara menurun. "Covid-19 menyebabkan penurunan impor batubara oleh Tiongkok sebesar 20% dan belum pulihnya permintaan dari India pasca-lockdown," jelasnya.
Sebagai informasi, HBA sendiri diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platts 5900 pada bulan sebelumnya. Kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kilogram GAR.
Nantinya, harga acuan ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batubara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News