Reporter: Leni Wandira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski sudah lama membangun infrastruktur hilir migas, hilirisasi sektor minyak dan gas bumi (migas) dinilai belum berkembang optimal karena berbagai persoalan struktural dan lemahnya kebijakan konversi energi nasional.
Praktisi migas Hadi Ismoyo menilai pemerintah tidak memiliki arah kebijakan hilirisasi yang tegas, terutama dalam mendukung infrastruktur gas dan transisi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas.
“Hilirisasi migas sebenarnya jauh lebih dulu dan lebih baik dari minerba. Sejak era Soeharto kita sudah bangun kilang di Dumai, Cilacap, Balikpapan, LNG Plant di Arun, Bontang, Tangguh, serta petrokimia seperti Pupuk Iskandar Muda, Pusri, dan Petrokimia Gresik,” ujar Hadi kepada KONTAN, Senin (20/10).
Baca Juga: Batch Drilling Dongkrak Produksi Minyak Pertamina EP Adera Capai 3.388 BOPD
Namun, ia menegaskan bahwa akar masalah utama ada pada ketidaktegasan pemerintah dalam mendorong konversi BBM/LPG ke gas serta minimnya insentif bagi pembangunan jaringan gas nasional.
“Pemerintah tidak tegas membuat program konversi BBM/LPG ke gas yang lebih murah dan bisa menekan subsidi. Akibatnya, Pertamina yang revenue-nya besar dari BBM juga tidak semangat membangun jaringan gas,” jelasnya.
Terkait kelangkaan BBM non-subsidi di sejumlah SPBU swasta, Hadi menyebut permasalahan ini disebabkan oleh sistem distribusi yang tidak adil dan kurangnya perlindungan terhadap badan usaha non-BUMN.
“Karena sistem kita terbuka, masuknya SPBU asing sesuai regulasi. Tapi SPBU swasta juga harus dilindungi agar tercipta iklim investasi yang sehat dan kompetitif,” ungkapnya.
Baca Juga: Pertamina Hulu Energi Menang Lelang WK Lavender, Komitmen Investasi US$ 2,8 Juta
Hadi menekankan pentingnya cadangan penyangga energi nasional yang melibatkan badan usaha swasta sebagai langkah mitigasi pasokan ke depan. "Kasus langkanya BBM non-subsidi 2025 ini harus jadi pelajaran penting,” tegasnya.
Pembangunan kilang minyak disebut terus tertunda karena tingginya kebutuhan investasi, margin rendah, dan masa balik modal yang panjang, belum lagi tantangan dari tren energi terbarukan.
“Membangun kilang seperti GRR Tuban 300.000 bph butuh US$ 24 miliar. Teknologinya tinggi, margin kecil, dan tren menuju NZE membuat bisnis kilang makin tak menarik,” jelasnya.
Hadi justru mengusulkan alternatif pembangunan storage BBM (tank farm) di lima titik strategis sebagai solusi yang lebih realistis.
“Kalau diganti pembangunan storage BBM masing-masing 2 juta barrel, hanya butuh sekitar US$ 2,5 miliar dan waktu balik modal lebih pendek,” sarannya.
Baca Juga: SKK Migas Buka Suara Soal Perbedaan Data Lifting Migas antara ESDM dan Kemenkeu
Sebagai mitigasi, Hadi menilai pemerintah seharusnya memberi penugasan langsung kepada Kementerian ESDM atau Pertamina untuk membangun infrastruktur gas secara agresif di Pulau Jawa, termasuk pipa distribusi dan virtual pipeline ke kawasan industri.
“Pemerintah bisa tugaskan KESDM atau Pertamina bangun infrastruktur gas besar-besaran, didukung FSRU di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” katanya.
Ia juga mendorong kolaborasi antara Pertamina dan BUMN lainnya, seperti Danantara, agar rakyat bisa memperoleh akses energi murah dan terjangkau.
Hadi tak menampik bahwa berbagai persoalan tata niaga migas, termasuk kasus BBM oplosan dan korupsi minyak mentah, menunjukkan lemahnya tata kelola dan visi kepemimpinan sektor energi.
Baca Juga: Data Migas Kemenkeu dan ESDM Berbeda
“Akar masalahnya adalah lemahnya team leader di institusi terkait, yang tidak punya visi negarawan dalam membangun korporasi yang mengutamakan pelayanan publik,” tegas Hadi.
Ia pun menyarankan serangkaian reformasi mendesak, mulai dari konversi energi, pembangunan infrastruktur gas, pembangunan kilang atau storage yang lebih efisien, serta redesign subsidi LPG yang lebih tepat sasaran berbasis satu data nasional.
Selanjutnya: Setahun Prabowo - Gibran, Kemenperin Ungkap Kinerja dan Target Industri Manufaktur
Menarik Dibaca: Tayang di Bioskop 30 Oktober 2025, Begini Sinopsis Film Pengin Hijrah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News