Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memperkirakan platform marketplace membutuhkan waktu sekitar delapan bulan sejak September 2025 untuk mempersiapkan diri sebagai pemungut pajak.
Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto menilai keputusan pemerintah menunda penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi e-commerce merupakan langkah tepat.
Baca Juga: Jadi Pemungut Pajak, Marketplace Butuh Waktu 1 Tahun Siapkan Sistem
Kebijakan ini, menurutnya, dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi digital sekaligus memberi waktu bagi platform melakukan penyesuaian sistem.
“PMK ini bukan menambah beban baru bagi wajib pajak, tetapi mengalihkan tanggung jawab pemungutan pajak kepada platform. Artinya, marketplace harus memverifikasi omzet penjual, mengelola data perpajakan, dan memastikan pelaporan berjalan lancar. Ini bukan hal sederhana,” ujar Hilmi kepada Kontan.co.id, Rabu (22/10/2025).
Hilmi menjelaskan, idEA bersama pelaku industri menilai dibutuhkan masa transisi yang cukup panjang agar implementasi berjalan efektif.
Berdasarkan perhitungan bersama, marketplace membutuhkan setidaknya delapan bulan sejak September 2025 untuk menyiapkan diri menjadi pemungut pajak.
idEA juga menekankan pentingnya sosialisasi dan kejelasan mekanisme teknis antara pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan platform marketplace.
Koordinasi erat diperlukan agar proses pemungutan pajak tidak menimbulkan kebingungan di tingkat penjual, terutama pelaku UMKM digital.
“Adaptasi terhadap sistem administrasi pajak digital masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha kecil. Sosialisasi yang menyeluruh sangat penting agar proses pungutan tidak menjadi beban tambahan bagi penjual kecil,” ujar Hilmi.
Baca Juga: Marketplace Ditunjuk Jadi Pemungut Pajak Pedagang Online, Ini Permintaan IdEA
Risiko Distorsi Pasar
Meski mendukung kebijakan peningkatan kepatuhan pajak, idEA mengingatkan bahwa penerapan tanpa kesiapan dapat menimbulkan distorsi pasar.
Ketimpangan bisa terjadi antara pelaku besar dan kecil karena pelaku kecil lebih terbebani secara administrasi maupun arus kas (cash flow).
Jika tidak diatur proporsional, Hilmi menilai ada risiko pelaku kecil beralih ke kanal non-formal atau media sosial karena merasa terbebani pajak tambahan di marketplace resmi.
Dalam jangka panjang, hal ini justru dapat menghambat formalisasi UMKM digital.
Selain itu, sebagian penjual berpotensi meneruskan beban pajak kepada konsumen, tergantung strategi bisnis masing-masing.
Karena itu, idEA menilai rancangan kebijakan harus adil dan tetap mendukung pertumbuhan sektor digital.
Baca Juga: Asosiasi UMKM Peringati Soal Transparansi pada Penerapan Pajak E-commerce
Secara prinsip, idEA mendukung langkah pemerintah memperkuat kepatuhan pajak di sektor e-commerce.
Namun, kebijakan tersebut perlu dijalankan secara proporsional agar tidak menekan daya saing industri digital Indonesia dibanding negara lain di kawasan ASEAN.
“Pemerintah dan industri perlu bersama-sama membangun ekosistem pajak yang sehat dan inklusif, di mana pelaku usaha tetap patuh pajak tetapi juga memiliki ruang untuk tumbuh,” kata Hilmi.
Hilmi menambahkan, dengan koordinasi yang baik antara pemerintah dan pelaku industri, kebijakan fiskal seharusnya menjadi katalis, bukan penghambat, dalam mencapai target ekonomi digital nasional senilai US$ 360 miliar pada 2030.
Selanjutnya: Screen Time Berlebih? Ikuti Panduan Detoks Digital Efektif dan Bikin Tenang Ini
Menarik Dibaca: Screen Time Berlebih? Ikuti Panduan Detoks Digital Efektif dan Bikin Tenang Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News