Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Impor susu sebagai bahan baku Industri Pengolahan Susu (IPS) dari Australia semakin gencar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor susu pada Januari-April 2011 sebesar US$ 30,05 juta. Nilai ini naik 96,48% dibandingkan 4 bulan pertama 2010 yang sebesar US$ 15,29.
Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional menuturkan, kenaikan nilai ini banyak ditopang oleh kenaikan harga susu dunia. Pada Februari lalu misalnya, harga susu bubuk skim menembus US$ 3.800 per ton. Padahal, harga rata-rata tahun 2010 masih sebesar US$ 3.100 per ton.
Begitu pula dengan harga susu butter fat yang menembus US$ 5.000 per ton, naik sekitar 25% dibandingkan tahun 2010 yang masih sekitar US$ 4.000 per ton. "Lonjakan harga seperti itu otomatis menaikkan nilai impor kita," tutur Teguh, Selasa (14/6).
Anton Susanto, Manajer Komunikasi PT Frisian Flag Indonesia (FFI), menilai kenaikan impor itu cukup wajar mengingat kebutuhan susu dalam negeri memang meningkat. Menurutnya, pada tahun ini pertumbuhan industri susu domestik diperkirakan mencapai 15%-20% dibandingkan tahun 2010.
Kondisi itu membuat produsen susu berlomba untuk meningkatkan penjualan produknya. Mereka ingin mengambil pangsa pasar dan keuntungan yang lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini membuat kebutuhan bahan baku susu dari masing-masing perusahaan ikut meningkat.
Anton bilang, FFI sebenarnya ingin menyerap lebih banyak susu lokal. Masalahnya, pasokan susu dari dalam negeri masih belum memadai. Ia menggambarkan, saban hari FFI membutuhkan sekitar 2.000 ton bahan baku susu. Pasokan lokal ternyata hanya mampu memenuhi sekitar 470 ton per hari. Untuk menutupi kekurangan pasokan itu, FFI mengimpor bahan baku susu dari Australia dan Selandia Baru.
Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, mengakui bahwa pasokan susu lokal memang belum memadai. Ia menduga, hingga saat ini susu lokal hanya mampu baru bisa memenuhi 60% saja dari total kebutuhan IPS Indonesia, sementara sisanya harus impor dari negara lain terutama Australia dan Selandia Baru.
Kondisi itu disebabkan oleh masih minimnya sentra produksi susu. Di seluruh Indonesia sentra produksi susu hanya ada di 3 daerah, yaitu Bandung, Malang dan Bali. Bayu mengklaim, sentra produksi susu memang hanya bisa dilakukan di 3 daerah itu, karena cuaca di sana cocok untuk pemeliharaan sapi perah. Imbasnya, produksi susu lokal belum terlalu banyak.
Meski begitu, Bayu mengatakan pemerintah sudah menjalankan program guna meningkatkan produktivitas maupun kualitas susu lokal. Pemerintah, sambungnya, sudah berusaha meningkatkan kualitas sapi perah. Bibit sapi perah juga dipilih yang paling baik kualitasnya. Bayu juga mengklaim, pemerintah sudah melakukan modernisasi usaha pemerahan susu yang dilakukan peternak. Ini bertujuan untuk memperbesar skala usaha para peternak lokal.
Beberapa program itu diklaim sukses meningkatkan produksi susu lokal. Beberapa tahun lalu, kontribusi susu lokal hanya 40% dari kebutuhan, sekarang sudah naik menjadi 60%. "Saya berharap produksi bisa kembali naik menjadi 75% dari kebutuhan," tandas Bayu. Sebagai informasi, populasi sapi perah lokal ditaksir sebanyak 450.000 ekspor. Sapi-sapi itu memproduksi susu segar rata-rata sebanyak 650.000 ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News