kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indef usulkan bea masuk anti dumping untuk produk impor garmen, ini alasannya


Jumat, 23 April 2021 / 07:46 WIB
Indef usulkan bea masuk anti dumping untuk produk impor garmen, ini alasannya
ILUSTRASI. Pemulihan Industri Tekstil: Suasana sentra penjualan tekstil dan garment Cipadu, Tangerang Selatan


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

Salah satu sub sektor industri padat karya yang terkena dampak cukup parah akibat pandemi adalah industri tekstil dan pakaian jadi. Industri ini mampu menyerap 3,94 juta tenaga kerja dari berbagai golongan mulai dari unit usaha besar, menengah, hingga IKM.

Penurunan pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi merupakan yang terparah ketiga setelah industri otomotif dan permesinan. Akibat dari hal tersebut, ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi menjadi kehilangan pekerjaan yang berpotensi berdampak pada bertambahnya kemiskinan.

Baca Juga: Trisula Textile Industries (BELL) berikhtiar perbaiki kinerja di tahun ini

Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan sektor padat karya yang terkena ‘pukulan’ parah pada masa pandemi. Pertama, untuk orientasi ekspor, semakin sulit akibat pembatasan aktivitas logistik dan supply chain dengan negara mitra, termasuk pengenaan safeguard oleh negara tujuan ekspor.

Sementara untuk dialihkan penjualan produk pakaian jadi ke dalam negeri, justru terkendala gempuran produk impor yang masuk secara bebas. Bak sudah jatuh, semakin tertimpa tangga.

Indef  menilai penetrasi impor terjadi karena di sisi hilir, impor produk pakaian bebas masuk tanpa pengenaan tarif ataupun regulasi non tarif. Kebijakan tersebut terjadi pada berbagai jenis pakaian jadi seperti atasan casual dan formal, bawahan, terusan, outwear, headwear hingga pakaian bayi.

Tak ketinggalan juga berbagai produk baju muslim, mulai gamis, baju koko hingga hijab. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur tarif industri TPT tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan dan pengamanan produk dalam negeri.

Akibatnya, berbagai produk impor pakaian jadi bebas masuk dan mengancam keberlangsungan produsen dan tenaga kerja pada industri tekstil dan pakaian jadi.

Dengan mudahnya produk pakaian impor yang masuk khususnya dari China dan Thailand ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah, maka menyebabkan produsen dalam negeri khususnya IKM menjadi sangat tertekan dari berbagai sisi. Konsekuensinya terjadi dilematis, pilihan untuk berhenti berproduksi atau mengurangi pekerja.

Karenanya, penetrasi impor produk pakaian tentu menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha dan tenaga kerja. Sebagian besar industri garment lokal merupakan golongan IKM. Terdapat 407 ribu unit usaha garment yang termasuk golongan IKM.

Jika semakin banyak unit usaha yang tersingkir maka kemampuan menyerap tenaga kerja semakin rendah. Tercatat sedikitnya lebih dari 2 juta tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada industri garmen di dalam negeri.

Jika tenaga kerja pada industri garmen tersebut tidak diproteksi maka akan mengancam terhadap meningkatnya pengangguran. Tentu akan berakibat pula pada lambatnya proses pemulihan daya beli.

Baca Juga: Saat Berupaya Merestrukturisasi Utang, Sritex (SRIL) dan Tiga Anak Usaha Digugat PKPU




TERBARU

[X]
×