kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indef usulkan bea masuk anti dumping untuk produk impor garmen, ini alasannya


Jumat, 23 April 2021 / 07:46 WIB
Indef usulkan bea masuk anti dumping untuk produk impor garmen, ini alasannya
ILUSTRASI. Pemulihan Industri Tekstil: Suasana sentra penjualan tekstil dan garment Cipadu, Tangerang Selatan


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development on Economics and Finance (Indef) menilai industri garmen jadi salah satu sektor usaha yang terpukul berat akibat dampak pandemi virus corona hingga kini. Oleh karenanya upaya pengamanan pasar dalam negeri perlu dilakukan salah satunya dengan pengenaan BMTP pada produk impor garmen.

Indef mengkaji pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) memiliki urgensi penting di antaranya mencakup lima hal. Pertama, dalam mempertahankan proses industrialisasi pada sektor garmen, memperkuat struktur industri garmen dan nilai tambah domestik serta memperbesar peran dalam global supply chain.

Kedua, BMTP atas produk impor Garmen mampu mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja. Ketiga, memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap penerimaan negara. Keempat, menjaga perolehan devisa yang lebih optimal. Kelima, memberikan kepastian terhadap struktur tarif industry TPT dari hulu hingga hilir.

Baca Juga: Impor karpet dari China, Turki, dan Jepang bea masuk safeguard

Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan, idealnya pengenaan tarif impor yang bersifat sementara seperti safeguards atau BMTP perlu dilakukan secara harmonis dari hulu hingga hilir, dimana tarif impor produk hilir harus lebih besar daripada tarif impor produk hulu.

Kondisi struktur tarif impor saat ini dalam industri TPT adalah tarif di sisi hulu dan intermediate lebih tinggi dari sisi hilir, bahkan untuk produk hilir belum ada pengenaan tarif impor bagi produk yang berasal dari negara mitra FTA seperti China. Pengenaan BMTP merupakan suatu hal yang diperbolehkan dalam aturan perdagangan internasional dalam WTO.

Enny menyampaikan, usulan ini didasari atas adaya lonjakan dalam beberapa waktu terakhir sehingga berdampak terhadap daya beli (konsumsi) masyarakat.

Hingga kuartal IV-2020, konsumsi masyarakat anjlok atau minus 3,61% year on year (yoy). Penurunan konsumsi ini diprediksi masih akan berlanjut hingga awal 2021 karena masih sulitnya menekan pengangguran.

Tingkat penjualan eceran (khususnya sektor padat karya) juga mengalami kontraksi pada seluruh kelompok pengeluaran, antara lain pada penjualan makanan, minuman, dan tembakau; pakaian, alas kaki, perlengkapan rumah tangga; suku cadang dan aksesoris; bahan bakar kendaraan; peralatan informasi dan telekomunikasi; barang budaya dan rekreasi; serta barang lainnya.

Pertumbuhan output pada sejumlah sektor industri padat karya juga masih mengalami kontraksi pada kuartal IV-2020, di antaranya industri tekstil dan pakaian jadi yang turun 8,8%, industri kulit dan alas kaki yang turun 8,76% dan sektor perdagangan yang turun 3,72%.

Salah satu sub sektor industri padat karya yang terkena dampak cukup parah akibat pandemi adalah industri tekstil dan pakaian jadi. Industri ini mampu menyerap 3,94 juta tenaga kerja dari berbagai golongan mulai dari unit usaha besar, menengah, hingga IKM.

Penurunan pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi merupakan yang terparah ketiga setelah industri otomotif dan permesinan. Akibat dari hal tersebut, ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja pada sektor industri tekstil dan pakaian jadi menjadi kehilangan pekerjaan yang berpotensi berdampak pada bertambahnya kemiskinan.

Baca Juga: Trisula Textile Industries (BELL) berikhtiar perbaiki kinerja di tahun ini

Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan sektor padat karya yang terkena ‘pukulan’ parah pada masa pandemi. Pertama, untuk orientasi ekspor, semakin sulit akibat pembatasan aktivitas logistik dan supply chain dengan negara mitra, termasuk pengenaan safeguard oleh negara tujuan ekspor.

Sementara untuk dialihkan penjualan produk pakaian jadi ke dalam negeri, justru terkendala gempuran produk impor yang masuk secara bebas. Bak sudah jatuh, semakin tertimpa tangga.

Indef  menilai penetrasi impor terjadi karena di sisi hilir, impor produk pakaian bebas masuk tanpa pengenaan tarif ataupun regulasi non tarif. Kebijakan tersebut terjadi pada berbagai jenis pakaian jadi seperti atasan casual dan formal, bawahan, terusan, outwear, headwear hingga pakaian bayi.

Tak ketinggalan juga berbagai produk baju muslim, mulai gamis, baju koko hingga hijab. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur tarif industri TPT tidak memiliki keberpihakan terhadap perlindungan dan pengamanan produk dalam negeri.

Akibatnya, berbagai produk impor pakaian jadi bebas masuk dan mengancam keberlangsungan produsen dan tenaga kerja pada industri tekstil dan pakaian jadi.

Dengan mudahnya produk pakaian impor yang masuk khususnya dari China dan Thailand ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah, maka menyebabkan produsen dalam negeri khususnya IKM menjadi sangat tertekan dari berbagai sisi. Konsekuensinya terjadi dilematis, pilihan untuk berhenti berproduksi atau mengurangi pekerja.

Karenanya, penetrasi impor produk pakaian tentu menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha dan tenaga kerja. Sebagian besar industri garment lokal merupakan golongan IKM. Terdapat 407 ribu unit usaha garment yang termasuk golongan IKM.

Jika semakin banyak unit usaha yang tersingkir maka kemampuan menyerap tenaga kerja semakin rendah. Tercatat sedikitnya lebih dari 2 juta tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada industri garmen di dalam negeri.

Jika tenaga kerja pada industri garmen tersebut tidak diproteksi maka akan mengancam terhadap meningkatnya pengangguran. Tentu akan berakibat pula pada lambatnya proses pemulihan daya beli.

Baca Juga: Saat Berupaya Merestrukturisasi Utang, Sritex (SRIL) dan Tiga Anak Usaha Digugat PKPU

Menurut Indef, pemerintah mestinya menerapkan struktur tarif yang selaras dari hulu hingga hilir. Idealnya, pengenaan tarif impor produk hilir harus lebih besar daripada tarif impor produk hulu. Termasuk pengenaan tarif pengamanan perdagangan sementara berupa safeguardatau pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).

Dengan demikian, produsen pakaian jadi (hilir) lebih optimal menyerap bahan baku dalam negeri sekaligus mendapatkan kepastian pasar. Artinya satu kebijakan, dua manfaat terpenuhi, yaitu mendorong menciptakan nilai tambah karena mendorong penggunaan bahan baku lokal, sekaligus substitusi impor.

Namun, nyatanya struktur tarif impor industri TPT saat ini justru terbalik, tarif di sisi hulu dan intermediate lebih tinggi dari sisi hilir. Bahkan, untuk produk hilir produk yang berasal dari negara mitra perdagangan bebas (FTA) seperti China, tidak ada pengenaan tarif impor.

Padahal, hampir seluruh negara tujuan ekspor TPT Indonesia mengenakan safeguard atau BMTP guna perlindungan pasar dalam negeri, karena masih diperbolehkan WTO.

Pemberlakuan kebijakan perdagangan yang kontradiktif tersebut, akan menyebabkan konsekuensi sangat besar terhadap penyerapan tenaga kerja nasional. Terlebih lagi saat pemulihan ekonomi justru memerlukan banyak lapangan kerja untuk menampung jutaan tenaga kerja korban pandemi.

Jika sulit membuka lapangan kerja maka akan sulit juga proses pemulihan ekonomi. Pasalnya, industri tekstil merupakan industri padat karya yang mestinya justru menjadi bumpermencegah melonjaknya pengangguran.

Mestinya, justru dijadikan momentum reindustrialisasi dengan menata ulang berbagai kebijakan secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Hal ini tentu demi tujuan untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi

Baca Juga: Kurangnya jaminan pasar domestik mengganjal investasi baru industri TPT

Momentum reindustrialisasi industri tekstil dan pakaian jelas hanya akan berhasil jika diiringi dengan tindakan pengamanan atau proteksi di dalam negeri. Salah satu tindakan pengamanan adalah menerapkan struktur tarif yang selaras dari hulu hingga hilir. Di saat sisi hulu sudah mendapatkan tarif berupa safeguard maka sisi hilir perlu dikenakan hal serupa dengan tingkat yang lebih tinggi.

Jadi produsen pakaian jadi (hilir) baik skala besar hingga kecil dapat lebih optimal menyerap bahan baku dalam negeri karena ada kepastian produksi untuk mengisi pasar dalam negeri. Tindakan pengamanan atau proteksi ini sangat diperlukan untuk sektor padat karya demi mempercepat pemulihan daya beli dan ekonomi nasional.

“Pada prinsipnya, kebijakan industri pada sektor ini harus didorong untuk menciptakan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang optimal sehingga tercapai proses industrialisasi yang berdampak luas terhadap perekonomian,” tulis Enny dalam keterangan resminya, Kamis (22/4).

Menurut Enny dalam era perdagangan bebas, perlu kebijakan yang tetap mengedepankan proses industrialisasi agar mampu menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja. ?

Di sisi lain, membanjirnya impor pada produk tertentu seperti garmen dapat mengancam keberlangsungan industrialisasi khususnya sektor padat karya seperti garmen. Hal ini selanjutnya akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan daya beli masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×