Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keekonomian proyek jaringan gas (jargas) perlu diperbaiki untuk memikat minat badan usaha swasta.
Chairman Indonesia Gas Society (IGS) Aris Mulya Azof mengatakan bahwa proyek jargas yang sebelumnya sebagian besar dibangun lewat skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum dapat dikatakan sesuai dengan keekonomian.
Itulah sebabnya, pemberian insentif, menurut Aris, diperlukan jika pemerintah ingin melibatkan badan usaha swasta dalam pembangunan jargas.
Bentuknya bisa bervariasi. Mulai dari harga gas hulu khusus sebesar US$ 4,72 per metric million british thermal unit (mmbtu), penetapan harga jual ke masyarakat dengan keekonomian yang sesuai biaya pengoperasian dan pemeliharaan, kepastian /kontinuitas pasokan gas hulu, dan dukungan perizinan dari pemerintah daerah.
“Saat ini jargas yang sebagian besar dibangun dengan APBN belum dapat dikatakan sesuai dengan keekonomian, sehingga kalau mengundang swasta tentu harus ada insentif,” ujar Aris kepada Kontan.co.id, Senin (16/10).
Baca Juga: Sudah Ada yang Tertarik, Pemerintah Promosikan Lelang Proyek Jargas ke Swasta
Seperti diketahui, pemerintah berupaya menggeber pembangunan jaringan gas (jargas). Terbaru, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ingin menggandeng badan usaha swasta dalam pembangunan jaringan gas (jargas).
Lewat ikhtiar itu, pemerintah berharap agar target 2,5 juta sambungan rumah tangga (SR) bisa direalisasi hingga tahun 2024.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah bakal merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi Untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.
Revisi dilakukan agar badan usaha swasta dapat juga membangun jargas kota untuk masyarakat menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
“Dengan pengaturan perpres yang ada kan KPBU enggak masuk dalam skema. Nah sekarang perpresnya akan direvisi sehingga KPBU bisa jalan,” ujar Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (13/10).
Selain menggandeng swasta, Kementerian ESDM juga menyiapkan strategi lain. Salah satunya dengan kembali menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan mengandalkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk membiayai pembangunan jargas.
Di samping itu, ada pula rencana untuk mematok harga gas dari hulu sebesar US$ 4,72 per mmbtu. Tujuannya untuk mendorong minat badan usaha agar tertarik bisa membangun jargas.
Baca Juga: Jurus Geber Proyek Jargas, Gandeng Swasta Hingga Rencana Patok Harga Gas Hulu
“Dengan adanya ini kita bisa mengeroyok target itu. Jadi selain porsinya PGN, nanti KPBU ada, nah kita juga dari ESDM kita harapkan nanti ada anggaran dari APBN yang kita harapkan dari PNBP kita bisa dipakai untuk membangun jaringan gas, sehingga dengan keroyokan itu ramai-ramai targetnya bisa banyak,” kata Arifin.
Program pembangunan jargas sendiri merupakan proyek pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, pembangunan jargas termasuk salah satu proyek strategis nasional.
Ini merupakan upaya pemerintah meningkatkan pemanfaatan gas untuk dalam negeri, mengurangi impor LPG sebesar 603.720 ribu ton per tahun, penghematan subsidi LPG sebesar Rp 297,55 miliar per tahun, serta menghemat pengeluaran energi masyarakat Rp 386 miliar per tahun.
Jargas juga diharapkan mengurangi defisit neraca perdagangan migas mencapai Rp 2,64 triliun per tahun.
Mulanya, pemerintah menargetkan target sambungan jargas sebanyak 4 juta SR di tahun 2024. Hanya saja, target ini kemudian direvisi menjadi 2,5 juta SR di 2024 lantaran capaian realisasi jargas yang baru mencapai 800.000-an SR.
Asal tahu, menukil pembertiaan Kompas.tv (12/10), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, realisasi proyek jaringan gas untuk sambungan ke rumah-rumah sejauh ini baru mencapai 835.000 rumah.
Baca Juga: Pengembangan Jargas Hadapi Tantangan Keekonomian dan Konsumsi Minim
Sebanyak 594.000 di antaranya didanai pemerintah, sedang 241.000 lainnya dari Perusahaan Gas Negara (PGN).
“Kan targetnya semula 4 juta rumah, cuma dengan capaian sekitar 800.000, ini target 4 juta pada 2024 sulit tercapai. Jadi dari 835.000 sambungan sekarang diharapkan bisa ditingkatkan menjadi 2,5 juta pada 2024,” ujarnya dalam konferensi pers usai Rapat Internal di Istana Merdeka, Kamis (12/10) sebagaimana diberitakan Kompas.tv.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menduga realisasi pembangunan jargas yang berjalan lambat terjadi karena program ini tidak lagi dibiayai oleh APBN 2 tahun belakangan.
“Dana APBN jargas dialihkan untuk membangun infrastruktur pipa ruas Cisem (cirebon-semarang). Akibatnya, upaya untuk mengejar target jargas ini jalan di tempat,” ujarnya saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (13/10).
Menurut Mulyanto, skema KPBU bisa menjadi opsi yang masuk akal untuk mengejar target pembangunan jargas seraya tetap menjaga pengeluaran APBN yang optimal.
Ini dengan catatan bahwa harga gas alam per satuan volume untuk pengguna keluarga ditetapkan di angka yang cukup menarik dibanding harga gas LPG non subsidi.
Terlebih, jika harganya bisa ditetapkan mendekati harga gas melon 3 kg bersubsidi. Sebab, menurut Mulyanto, pangsa jargas yang mengarah pada keluarga menengah atas yang jumlahnya terbatas lantaran harganya yang masih kurang menarik bagi masyarakat secara umum.
“Selain itu (sebaiknya) dengan harga tersebut (harga yang menarik ke pengguna) masih tetap ada margin yang menarik bagi penyalur gas alam. Kombinasi peningkatan di sisi supply dan demand ini diperkirakan dapat mendorong pencapaian target jargas tersebut,” terang Mulyanto.
Baca Juga: Pemanfaatan Jargas untuk Tekan Impor LPG Mendapat Dukungan Dewan Energi Nasional
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menilai bahwa lambatnya realisasi proyek jargas terjadi karena masalah keekonomian proyek. Biang keroknya 2: volume kebutuhan yang kecil serta harga yang boleh jadi belum menarik dalam hitungan bisnis.
“Jargas ini kan seringkali investasinya lebih besar dibanding besar dibanding potensi marginnya karena volumenya enggak terlalu besar, apalagi ditambah dengan harganya yang masih belum keekonomian” kata Komaidi saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (13/10).
Oleh karenanya, Komaidi menilai bahwa intervensi pemerintah diperlukan untuk menyukseskan proyek jargas.
“Kalau ada intervensi jaminan dari pemerintah melalui APBN harusnya sih lebih baik atau potensinya lebih bisa jalan. tapi kalau diserahkan ke B2B kayaknya lama, karena kan memang marginnya enggak begitu signifikan,” terang Komaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News