Reporter: Agung Hidayat | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek pengembangan industri petrokimia di Indonesia masih cerah. Tingginya ketergantungan impor produk petrokimia oleh perusahaan-perusahaan pengguna, menyebabkan pangsa pasar industri ini belum tergarap secara maksimal.
Sekjen Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, dari 5,6 juta ton kebutuhan bahan baku petrokimia per tahun, sekitar 55% berasal dari impor. "Sedangkan barang jadi petrokimia ada 800.000 ton yang juga masih impor," ujar Fajar kepada KONTAN, Senin (4/12).
Minimnya suplai kebutuhan petrokimia dari pabrikan dalam negeri ini merupakan imbas dari minimnya investasi signifikan di sektor ini dalam kurun waktu hampir 20 tahun terakhir. Barulah dalam beberapa tahun terakhir, investasi industri petrokimia mulai menggeliat.
Investasi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk dalam lima tahun terakhir ini, boleh dibilang menjadi lokomotif investasi sektor petrokimia. Emiten berkode saham TPIA di Bursa Efek Indonesia ini juga menyiapkan ekspansi lanjutan hingga lima tahun ke depan. Tahun depan, sebagai contoh, perusahaan ini akan menaikkan kapasitas menjadi dua kali lipat menjadi 2 juta ton per tahun, dan diproyeksikan tuntas tahun 2021-2022.
Selain Chandra Asri, PT Lotte Chemical Titan Tbk juga bakal melakukan ekspansi untuk produk naphtha cracker sebanyak 1,5 juta ton. Proyek ini diperkirakan rampung tahun 2021.
Toh, kata Fajar, berbagai ekspansi itu belum cukup untuk memenuhi tren pertumbuhan permintaan petrokimia lokal. "Sekalipun semua ekspansi itu sudah jadi semua, lima tahun lagi kapasitas industri petrokimia kita masih kurang karena permintaan terus bertumbuh," tandasnya.
Perhitungan Inaplas, setidaknya membutuhkan tiga kilang minyak dengan kemampuan produksi sekitar 300.000 barel per hari. Tambahan kilang baru itu diharapkan dapat menyeimbangkan antara produksi petrokimia dengan BBM.
Itu sebabnya, dia berharap, kerja sama Pertamina dengan perusahaan minyak dan gas (migas) asal Rusia, Rosneft Oil Company bisa terwujud. Kongsi kedua perusahaan ini akan membangun kilang minyak yang terintegrasi dengan pabrik petrokimia di Tuban, Jawa Timur.
Bahkan Inaplas mengusulkan kilang minyak yang menghentikan produksi bensin premium dapat dialihkan untuk produksi naphtha cracker . "Supaya tidak impor lagi bahan baku," kata Fajar.
Pertamina saat ini memproduksi jenis produk petrokimia seperti propylene, polypropylene, para-xyelen dan styrene. Totalnya mencapai satu juta ton. Dari produksi petrokimia itu, kapasitas terbesar ialah propylene, yakni mencapai 600.000 ton per tahun.
Investasi industri petrokimia tergolong besar. Fajar mencontohkan untuk satu pabrik petrokimia saja membutuhkan setidaknya US$ 4 miliar. Jumlah tersebut untuk pembangunan pabrik berkapasitas dua juta ton yang terdiri dari polietilena, propylene dan lainnya. "Itu belum lagi termasuk bahan baku untuk tekstil, farmasi dan sebagainya," kata Fajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News