Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia memegang jumlah kesepakatan terbanyak –mencapai 125 kesepakatan– dalam inisiatif kerja sama energi Jepang (Asia Zero Emission Community/AZEC), termasuk yang baru ditandatangani pada Pertemuan AZEC ke-3 di Malaysia pekan lalu.
Namun, alih-alih mendorong dekarbonisasi seperti klaim tujuan inisiatif ini, sepertiga kesepakatan AZEC dengan seluruh negara-negara Asia Tenggara masih menyasar investasi teknologi energi fosil.
Temuan analisis terbaru Zero Carbon Analytics (ZCA) mengungkap, dari 49 kesepakatan AZEC yang baru saja ditandatangani, hampir sepertiga (31%) atau 15 kesepakatan masih melibatkan teknologi berbasis bahan bakar fosil seperti gas, amonia, hidrogen dan carbon capture, utilization and storage (CCUS).
Baca Juga: Dorong Transformasi Hijau lewat Digitalisasi dan Teknologi Rendah Emisi
Sementara porsi kerja sama yang berfokus pada sektor energi terbarukan hanya 22% atau 11 kesepakatan. Dari total kesepakatan AZEC pada Oktober ini, Indonesia meneken 15 kesepakatan baru.
Secara akumulatif, tercatat telah ada 316 kesepakatan AZEC sejak 2023, dengan 31% atau 97 di antaranya terkait energi fosil. Proporsi proyek energi fosil dan energi terbarukan di bawah AZEC masih relatif seimbang.
Dari sisi teknologi, biomassa dan biofuel merupakan yang paling banyak disebut dalam berbagai kesepakatan AZEC.
Namun, empat dari sepuluh teknologi teratas yang paling sering muncul masih terkait bahan bakar fosil yakni CCUS, amonia, co-firing amonia dengan batu bara, serta hidrogen.
Baca Juga: Emisi Karbon dari Industri Manufaktur Diproyeksikan Naik 4 Kali Lipat di 2050
Hal ini dapat memperlambat transisi energi bersih di kawasan, padahal ASEAN baru saja menetapkan target untuk meningkatkan porsi listrik dari energi terbarukan menjadi 45% dari kapasitas total dalam lima tahun ke depan.
“Namun, dukungan terus-menerus terhadap teknologi gas, amonia, hidrogen, dan CCUS melalui AZEC dapat menghambat pencapaian target tersebut,” kata Amy Kong, Peneliti Transisi Energi ZCA dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (02/11/2025).
Selain itu, tingginya porsi teknologi CCS dan gas dalam kesepakatan AZEC dikhawatirkan justru berpotensi memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil di Asia.
“Padahal, gas merupakan kontributor utama peningkatan suhu bumi. Kemudian, CCS bahkan dapat memicu tambahan emisi hingga 25 miliar ton gas rumah kaca di Asia pada 2050,” Yu Sun Chin, Peneliti Regional Asia ZCA, menambahkan.
Dari total kesepakatan sejak 2023, Indonesia tercatat sebagai mitra terbesar Jepang dalam kerja sama dengan menandatangani 125.
Baca Juga: ESDM Sebut Bisnis CCS/CCUS Bisa Dukung Percepatan Target Emisi Nol Karbon di 2060
Setelah Indonesia, Thailand berada di urutan kedua dengan 43 kesepakatan, disusul Malaysia dan Vietnam pada urutan ketiga dengan masing-masing 36 kesepakatan.
Sejumlah pakar memperingatkan bahwa strategi Jepang yang terus mempromosikan teknologi berbasis fosil berisiko menjebak negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, dalam ketergantungan baru terhadap energi mahal dan beremisi tinggi.
Hikmat Soeriatanuwijaya, Asia Partnership and Outreach Officer Oil Change International, menilai AZEC bukanlah jalur menuju dekarbonisasi, melainkan bentuk baru kolonialisme energi.
“Dengan mendorong proyek gas, hidrogen, dan co-firing amonia, Jepang mengekspor ketergantungannya pada energi fosil dan mengunci wilayah Asia Tenggara terus bergantung pada energi kotor, baik secara teknologi maupun finansial. Alih-alih mendorong ASEAN memimpin pengembangan energi terbarukan, AZEC justru berisiko menjebak kita di dekade infrastruktur, utang, dan ketergantungan energi fosil, yang lebih menguntungkan industri Jepang daripada masyarakat maupun planet kita,” tutup Hikmat.
Baca Juga: CCS/CCUS Jadi Jembatan Menuju Net Zero Emission, Ini Strategi Pemerintah
Selanjutnya: DPLK PertaLife Jaga Komposisi Investasi di Tengah Tren Naiknya Deposito
Menarik Dibaca: 7.500 Pelari Ramaikan PLN Electric Run 2025, Kurangi Emisi dari Setiap Langkah Lari
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













