kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.267.000   -15.000   -0,66%
  • USD/IDR 16.638   8,00   0,05%
  • IDX 8.140   47,02   0,58%
  • KOMPAS100 1.136   11,06   0,98%
  • LQ45 832   9,53   1,16%
  • ISSI 284   0,94   0,33%
  • IDX30 437   4,29   0,99%
  • IDXHIDIV20 506   7,28   1,46%
  • IDX80 128   1,59   1,26%
  • IDXV30 138   1,52   1,11%
  • IDXQ30 140   1,12   0,81%

Industri Kayu Indonesia Butuh Regulasi Tepat dan Investasi untuk Pulih


Selasa, 09 September 2025 / 18:47 WIB
Industri Kayu Indonesia Butuh Regulasi Tepat dan Investasi untuk Pulih
ILUSTRASI. Pekerja membongkar muat potongan log kayu sengon laut (Paraserianthes falcataria) hasil tebangan hutan rakyat ke atas truk di Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (18/2/2021).


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri kayu Indonesia tengah menghadapi tekanan serius akibat rendahnya investasi dan regulasi yang dinilai memberatkan pelaku usaha. 

Hal ini terungkap dalam diskusi publik “Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi” yang digelar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Jakarta, Senin (8/8/2025). 

Para pakar kehutanan dan ekonomi membedah kondisi industri kayu nasional, mulai dari regulasi, investasi, hingga persoalan deforestasi.

Pakar kehutanan IPB, Sudarsono Sudomo menyoroti bahwa aturan di sektor kayu, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sering lebih banyak menimbulkan beban biaya daripada manfaat nyata bagi pelaku usaha, terutama petani. 

Baca Juga: Dirut PFN Ifan Beberkan Tantangan Industri Perfilman Indonesia Menuju Kancah Global

“Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau dibantu. Banyak yang bahkan tidak tahu di mana sertifikatnya. Aturan seharusnya mempermudah, bukan menambah beban,” ujarnya dalam keterangannya Selasa (9/9/2025).

Sudarsono menegaskan bahwa deforestasi bukan disebabkan oleh pengusahaan hutan alam, melainkan alih fungsi lahan untuk kegiatan lain.

Hutan alam bisa pulih jika dikelola dengan insentif ekonomi yang memadai. Sayangnya, sektor kayu saat ini kalah menarik dibanding perkebunan atau perikanan.

Data menunjukkan tren penurunan drastis sejak 1990. Jumlah perusahaan hutan alam menyusut dari sekitar 600 menjadi hanya 250 perusahaan aktif pada 2023.

Investasi domestik di sektor ini rendah, menghasilkan hanya 1.500 tenaga kerja per Rp1 triliun, jauh di bawah sektor lain. “Tanpa investasi, industri kehutanan akan berhenti,” tegas Sudarsono.

Baca Juga: Tarif Trump dan Ancaman Baru bagi Industri Baja Indonesia

Pengamat kehutanan Petrus Gunarso menambahkan dengan menyorot isu ketelusuran kayu (traceability) yang kerap dikaitkan dengan deforestasi. 

Menurutnya, pergeseran dari hutan alam ke hutan tanaman kadang dianggap deforestasi oleh organisasi internasional, padahal hutan tanaman seperti eukaliptus justru bisa dipanen lebih cepat dan legal.

Ia juga mengkritisi pemberitaan internasional yang membesar-besarkan ekspor kayu Indonesia.

Dari perspektif ekonomi, Nailul Huda dari Celios menyebut sektor kehutanan kini masuk kategori industri sunset. 

Kontribusi terhadap PDB turun dari 0,7% menjadi 0,36%, sementara minat investasi sangat rendah: domestik sekitar 1%, asing hanya 0,02%. Padahal, jika dikelola optimal, sektor kayu bisa menjadi pengungkit ekonomi melalui industri pengolahan dan ekspor.

Baca Juga: TelkomMetra Dorong Ekspansi Industri Konten Indonesia ke Pasar Global

Para pakar sepakat, industri kayu Indonesia membutuhkan reformasi regulasi, peningkatan investasi, dan strategi baru yang memprioritaskan keberlanjutan sekaligus kesejahteraan masyarakat. 

“Jika hutan bisa memberi kesejahteraan, maka hutan itu akan dilestarikan. Yang dibutuhkan adalah aturan tepat guna, bukan aturan yang justru mematikan industri,” pungkas Sudarsono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×