kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,10   12,79   1.41%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri padat karya relokasi ke Jawa Tengah agar lebih efisien


Minggu, 04 Agustus 2019 / 21:12 WIB
Industri padat karya relokasi ke Jawa Tengah agar lebih efisien


Reporter: Eldo Christoffel Rafael, Kenia Intan | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban upah jadi alasan kuat pengusaha merelokasi pabrik agar terjadi efisiensi. Baru-baru ini sejumlah 140 pabrik di Jawa Barat gulung tikar karena isu pengupahan.

Sejatinya ini bukan hal pertama terjadi. Pelaku industri padat karya yang masih memiliki modal memilih untuk ekspansi atau bahkan memindahkan pabriknya dari area Jawa Barat ke Jawa Tengah.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri, untuk industri padat karya seperti industri garmen dan alas kaki, upah karyawan menjadi faktor yang penting. Sebabnya, jumlah karyawan dalam industri padat karya bisa mencapai ribuan bahkan puluhan ribu.

Baca Juga: Jawa Tengah menarik bagi industri padat karya lantaran UMK relatif rendah

Firman menambahkan, untuk pabrik alas kaki, relokasi pabrik biasanya dilakukan oleh industri yang ada di wilayah Banten. Relokasi dilakukan karena setiap tahun upah selalu naik, sementara nilai pemesanan jarang sekali meningkat.

Asal tahu saja, selain Upah Minumum Kabupaten/Kota (UMK), industri alas kaki juga dikenakan UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota).

"Bagi Industri padat karya, apalagi yang berorientasi global ini dirasa sangat memberatkan," kata Firman ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (2/8). Padahal, produk alas kaki yang berorientasi ekspor harus bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam dan Kamboja.

Baca Juga: Biaya dana naik, laba bersih Bank Danamon (BDMN) anjlok 10% di semester I

Relokasi menjadi salah satu pilihan perusahaan untuk menekan biaya produksi, sehingga biaya produksi bisa lebih kompetitif. Relokasi umumnya di lakukan ke daerah-daerah dengan UMK yang lebih kompetitif dan tidak ada UMSK. Di antaranya, sebagian Jawa Barat seperti Majalengka dan Sukabumi, serta Jawa Tengah. Untuk saat ini, menurut Firman sudah ada 26 industri alas kaki di Jawa Tengah.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIn) mBenny Soetrisno, menjelaskan disamping upah yang murah, faktor-faktor lain yang menarik dari Jawa Tengah seperti perijinan yang lebih mudah.

"Jawa Tengah juga punya pelabuhan laut Tanjung Emas. Masyarakatnya juga lebih kondusif," tambah Benny kepada KONTAN, Jumat (4/8). Adapun berdasar pengamatan Benny, lokasi di Jawa Tengah yang menjadi sasaran perusahaan mendirikan pabrik seperti Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Boyolali, Solo dan Sragen.

Sedangkan di industri otomotif tak semua memilih untuk merelokasi pabrik. Pertimbangan untuk berinvestasi mesin dalam rangka memasuki era industri 4.0 juga dilaksanakan.

Bob Azam, Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), menjelaskan di sektor ritel dan perbankan sudah memasuki arah industri 4.0. Tak lama lagi era tersebut akan dimasuki sektor manufaktur termasuk sektor otomotif.

Baca Juga: Polychem (ADMG) Kerek Kapasitas Produksi

"Untuk level Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) pasti cepat atau lambat masuk ke era industri 4.0. Masuk ke era digitalisasi dan juga efisiensi dalam skala produksi," kata Bob kepada Kontan.co.id, Minggu (4/8).

Apalagi di sektor hulu biaya tenaga kerja (labour) makin tinggi. Sehingga di level pabrikan komponen tier 1 pun akan mencari produktivitas dengan menambah mesin-mesin baru. "Teknologi 3D printing misalnya akan makin banyak diaplikasikan di pabrik," jelasnya.

Baca Juga: Polychem Indonesia (ADMG) Mendorong Kapasitas Produksi

Meski demikian tak semua industri otomotif akan masuk ke arah industri 4.0. Industri komponen-komponen tier 3 dan 4 akan memilih untuk mengoptimalkan tenaga kerja. Sehingga otomatis para pengusaha akan mempertimbangkan memilih area Jawa Tengah sebagai lahan ekspansi. Hanya saja persoalan logistik yang masih pertimbangan utama.

"Biaya logistik dari Jawa tengah ke area Cikarang misalnya. apakah sudah kompetitif? Biaya tol masih mahal," tambahnya.

Bob menambahkan kemampuan tenaga kerja tersebut perlu diperhatikan agar bisa tetap kompetitif. Tentunya butuh campur tangan pemerintah dan juga swasta. "Pendidikan vokasi bukan segera. Harus sekarang digalakkan," tambahnya.

Sedangkan utnuk sektor makanan dan minuman sepertinya belum mau ekspansi atau relokasi. Misalnya PT Kino Indonesia Tbk. Direktur Keuangan PT Kino Indonesia Tbk, Budi Mulyono menyatakan saat ini akan terus berfokus untuk meningkatkan penjualan. Adapun pertumbuhan yang ditargetkan di tahun 2019 adalah sebesar 30% dibandingkan tahun lalu.

“Belum ada rencana corporate action lain,” ujar Direktur Keuangan PT Kino Indonesia Tbk, Budi Mulyono kepada Kontan.co.id (4/8).

Baca Juga: Menggali potensi properti di setiap jengkal tanah bibir Trans Jawa

Budi menambahkan beban pokok penjualan dari kegiatan produksi yang dilakukan emiten berkode saham KINO ini sebagian besar dipengaruhi oleh biaya bahan baku dan biaya pengemasan (packaging). Sementara itu, biaya upah untuk tenaga kerja hanya memiliki kontribusi yang kecil dalam total beban pokok penjualan, yakni sekitar 6%.

Oleh karena itu, penghematan biaya umumnya dilakukan dengan otomatisasi produksi dan efisiensi alokasi buruh yang mengutamakan kualitas dan produktivitas kerja, bukan kuantitas pekerja.

“Kami tidak berada di sektor padat karya yang mengharuskan kami (untuk) memiliki tenaga kerja tanpa bisa digantikan fungsi otomatisasi,“ terang Budi kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Eksportir yang Meminati Fasilitas Kawasan Berikat Kian Bertambah

Sebelumnya. Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menuturkan, dalam upaya menggenjot kinerja dan peran industri manufaktur pada perekonomian nasional,

Kemenperin turut berkontribusi melakukan peningkatan terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menciptakan inovasi, serta pengembangan industri padat karya yang berorientasi ekspor.

Langkah tersebut didukung dengan kebijakan pemerintah berupa pengurangan pajak super. Hal ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PP No. 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam
Tahun Berjalan.

Baca Juga: Sejak 2018, DKI terbitkan 8.348 izin usaha untuk peserta OK OCE

Dalam regulasi itu, potongan pajak hingga 200% diberlakukan bagi industri yang melakukan pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi, kemudian industri dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% karena melakukan kegiatan litbang, serta untuk industri padat karya dapat diberikan pengurangan penghasilan neto sebesar 60%.

“Artinya, pemerintah memperhatikan sektor industri yang padat karya serta fokus pada vokasi dan inovasi. Beberapa industri yang menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya, bisa diberikan fasilitas tersebut, seperti industri otomotif,” tuturnya beberapa saat lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×