Reporter: Uji Agung Santosa |
JAKARTA. Sepinya perdagangan rotan dan naiknya harga serta susahnya mendapatkan minyak tanah, membuat usaha rotan tidak bergairah lagi.
Menurut Ketua Yayasan Rotan Indonesia (YRI) Lisman Sumardjani, petani pemungut rotan menjadi pihak yang paling telak terkena imbas larangan rotan. Tidak heran bila kemudian petani rotan yang dulu melakukan budidaya rotan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, kini mengkonversi kebun rotannya menjadi kebun sawit atau bahkan ada yang berubah menjadi tambang batubara.
Oleh karena itu YRI mendesak pemerintah untuk membuka kembali kemudahan ekspor rotan, apalagi kebijakannya memindahkan ekspor rotan ke pusat produksi telah gagal dilaksanakan.
"Gagal karena ketiadaan infrastruktur, SDM dan sistem yang menunjang,” kata Lisman.
Pemerintah memang membikin ketentuan ekspor rotan melalui Permendag No. 36/M-DAG/PER/8/2009 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Dalam pasal Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 8 peraturan itu disebutkan ijin ekspor hanya boleh dilakukan oleh pemegang izin Eksportir Terdaftar Rotan (ETR) di daerah penghasil rotan saja. Akibatnya, Surabaya tidak bisa melakukan ekspor.
Kebijakan itu telah menghambat pengusaha rotan Surabaya, sekaligus menghilangkan penerimaan devisa negara mencapai US$ 27 juta per tahun.
Lisman bilang, biasanya Surabaya mampu mengekspor 23.000 ton tiap tahunnya. Total ekspor itu berasal dari rotan jenis polish non-TSI sebanyak 8.000 ton dan natural washed & sulphured (W/S) TSI sebanyak 15.000 ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News