kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Industri Tekstil Diproyeksi Masih Terpuruk pada 2025 Jika Pemerintah Tak Lakukan Ini


Rabu, 01 Januari 2025 / 15:53 WIB
Industri Tekstil Diproyeksi Masih Terpuruk pada 2025 Jika Pemerintah Tak Lakukan Ini
ILUSTRASI. APSyFI memproyeksi bahwa kondisi bisnis di industri TPT tahun 2025 masih akan terpuruk jika Pemerintah tidak mengambil keputusan tepat


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) memproyeksi bahwa kondisi bisnis di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tahun 2025 masih akan terpuruk jika Pemerintah tidak mengambil keputusan tepat. 

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wiraswasta menjelaskan bahwa pelemahan industri TPT sebenarnya telah dirasakan sejak kuartal III 2022 yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2023. Redma mengatakan, Pemerintah sudah menyadari pelemahan ini, namun tidak kunjung mengambil keputusan yang melindungi industri ini. 

"Proyeksi bisnis tahun 2025 sangat tergantung dari tindakan Pemerintah. Pemerintah sudah aware dengan kelesuan industri TPT namun tetap tidak mau selesaikan masalah dan berputar mencari alasan. Pada 2024, banyak pabrik sudah menutup kerjanya dan PHK terjadi di mana-mana," ujar Redma kepada Kontan, Selasa (31/12). 

Baca Juga: Prabowo Sebut Penyelundupan Ancam Industri Tekstil dan Ratusan Ribu Pekerja

Ia mengatakan, selama Pemerintah enggan mengendalikan serbuan barang impor dan memberantas importasi ilegal, industri TPT masih akan melanjutkan tren PHK dan penutupan pabrik di tahun 2025.

Ia melanjutkan, beban yang ditopang oleh industri TPT akan semakin berat dengan wacana kenaikan PPN 12%, lalu kondisi geopolitik yang berimbas pada perang dagang yang mengakibatkan banjir produk China memenuhi pasar dalam negeri. 

Melihat hal ini, Redma juga memproyeksi bahwa daya beli masyarakat masih belum bangkit. Sebaliknya, berpotensi akan semakin melemah. 

Baca Juga: Permintaan Turun, PHK di Sektor Padat Karya Masih Mengancam

"Dengan adanya kenaikan PPN 12% plus devisa outflow yang semakin deras dari transaksi impor ilegal, daya beli masyarakat akan terus melemah (tahun 2025)," imbuhnya. 

Redma berkata, jika Pemerintah memang serius untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sebaiknya perlu memberikan kekuatan untuk industri manufaktur dan pertanian, sebab kedua industri ini menghadapi persaingan dengan barang impor ilegal. 

"Daya ungkit sektor industri manufaktur padat karya dan pertanian sangat besar, selain bagi pertumbuhan juga bagi penyerapan tenaga kerja. Jika pemerintah mau mengendalikan impor dan memberantas importasi ilegal, maka industri TPT pun ikut terkatrol. Kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi barang impor ilegal, hanya akan mencatat pertumbuhan ekonomi palsu," pungkasnya. 

Selanjutnya: Optimalisasi Layanan, BFI Finance Luncurkan Aplikasi BFI Mobile

Menarik Dibaca: BSI Bidik 10 Juta Pengguna BYOND by BSI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×