Reporter: Abdul Basith, Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri unggas dalam negeri sedang waswas. Sebab, Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) memenangkan gugatan Brasil atas pembatasan impor daging ayam Indonesia. Putusan WTO ini bisa berdampak luas pada industri unggas lokal.
Apalagi sampai saat ini, sejumlah produsen unggas seperti PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) masih fokus menggarap pasar domestik, bukan ekspor. Di sisi lain, produsen unggas juga terganggu dengan kebijakan Kementerian Pertanian (Kemtan) menutup impor jagung sehingga harga pakan menjadi meroket.
Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Anton Supit menyatakan, industri unggas ke depan semakin berat. Selain harga pakan yang kian mahal dan menekan biaya produksi, putusan WTO yang memenangkan gugatan Brasil berpeluang menyebabkan pasar dalam negeri kebanjiran daging unggas impor. "Potensi masuknya daging ayam dari luar Indonesia semakin besar pasca putusan WTO ini, dan hal ini memerlukan peningkatkaan daya saing produk unggas di Indonesia," ujar Anton kepada KONTAN, Senin (18/12).
Peningkatan daya saing juga termasuk pada persaingan harga bahan baku. saat ini, mahalnya bahan baku membuat daya saing produk unggas Indonesia akan kalah.
Di sisi lain, harga bahan pakan ternak di Brasil jauh lebih rendah ketimbang di Indonesia. Dia mengingatkan, perbaikan pasokan bahan baku bagi industri unggas dinilai bukan hanya tanggung jawab pihak swasta tetapi juga perlu peran pemerintah.
Presiden Direktur PT Charoen Pokphand Tbk Tjia Thomas Effendy mengakui, ke depan penjualan ayam Indonesia akan kian sulit bila daging ayam impor dari Brasil membanjiri pasar Indonesia. Dia melihat biaya produksi yang lebih murah akan membuat ayam lokal kalah saing dengan ayam Brasil. "Kalau Brasil masuk, kita jadi pemakan ayam Brasil saja semua," ujar Thomas belum lama ini.
Potensi besar
Thomas mengatakan, sebenarnya potensi pasar daging ayam di Indonesia masih besar. Sebab, konsumsi daging ayam di Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, konsumsi daging ayam di Thailand, Singapura, dan Malaysia sudah di atas 15 kilogram per kapita per tahun.
Saat ini, konsumsi daging ayam Indonesia masih sebesar 11,6 kilogram (kg) per kapita pada tahun 2016. Sementara proyeksi pertumbuhan konsumsi daging ayam sebesar 11,7% tiap tahun.
Tahun 2021, konsumsi daging ayam akan mencapai 19,4 kg per kapita per tahun. Menurut Thomas, peningkatan kebutuhan daging ayam berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia, serta jumlah jumlah kelas menengah.
Agar bisa memanfaatkan potensi pasar yang besar itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang mendukung. Sebab menurutnya, laju pengembangan industri perunggasan Indonesia terhalang kebijakan pelarangan impor jagung. Hal itu terlihat dari kinerja CPIN pada semester III 2017.
Berdasarkan laporan keuangan triwulan III-2017, CPIN mencatat peningkatan penjualan sebesar 33% menjadi Rp 37,5 triliun. Namun perusahaan ini mencatat penurunan laba sebesar 22,7% menjadi Rp 1,9 triliun dibandingkan dengan periode sama 2016.
Hal yang sama juga dialami Japfa. Kendati membukukan kenaikan penjualan 5,3% menjadi Rp 21,6 triliun pada kuartal III tahun ini, JPFA mengalami penurunan laba 46% menjadi Rp 956 miliar pada kuartal III-2017. Salah satu alasan penurunan laba adalah kenaikan bahan baku pakan ternak seperti harga jagung yang terus meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News