Reporter: Dani Prasetya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Menjelang akhir 2011 kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyampaikan beberapa poin untuk perbaikan kinerja pemerintah. Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menjelaskan, rekomendasi dari dunia usaha itu mempertimbangkan aspek ekonomi sektoral, makro ekonomi, proyeksi ekonomi sekaligus efek krisis ekonomi global terhadap Indonesia.
Ada delapan poin menurut Kadin yang harus dibenahi masyarakat. Pertama, soal makro ekonomi. Pengusaha menilai faktor nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, dan cadangan devisa cukup kondusif bagi dunia usaha.
Kedua, soal kebijakan suku bunga. Suryo menilai, pemerintah harus mendorong perbankan menurunkan suku bunga hingga 8%. Kadin menilai kebijakan suku bunga Bank Indonesia masih relatif konservatif sehingga tidak bisa mengikuti perkembangan suku bunga regional dan global yang telah menurun drastis.
Selain itu, Kadin menilai suku bunga tinggi karena inefisiensi perbankan nasional. "Lantaran suku bunga tinggi membuat dunia usaha tidak bisa memaksimalkan momentum usaha," ujarnya dalam jumpa pers outlook dunia usaha 2012, Rabu (28/12).
Ketiga, soal industri dan pasokan gas. Selama beberapa tahun terakhir, Kadin menyatakan pertumbuhan industri bertengger pada posisi negatif. Para pengusaha ini menilai produk impor dan kebijakan terbuka tanpa perlindungan berhasil menggeser industri kecil dan menengah. Akibatnya, tenaga kerja formal terlempar menjadi tenaga kerja informal.
Memasuki 2011, Kadin melihat sektor penopang ekonomi meningkat tapi masih kalah jauh dengan realisasi pertumbuhan industri dua digit pada era 1990-an. Menurut Kadin, hambatannya karena kebijakan energi yang tidak proindustri sehingga membuat dunia usaha dalam negeri kekurangan pasokan gas.
Padahal, Kadin menyatakan pemerintah seharusnya menjalankan kebijakan energi untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri. "Kebijakan energi nasional malah memberikan subsidi pada industri asing dengan menjual gas ke negara lain," katanya.
Keempat, soal kebijakan fiskal dan infrastruktur nasional. Kadin menilai kebijakan pemerintah masih belum memberi ruang gerak bagi dunia industri. Suryo menjelaskan, belanja modal masih terbilang rendah ketimbang belanja birokrasi, pembayaran utang luar negeri, dan alokasi subsidi tidak tepat sasaran. "Akibatnya, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur pun minim," katanya.
Kelima, persoalan implementasi APBN yang tidak efisien. Suryo menilai, dana transfer daerah setiap tahun terus meningkat hingga mencapai Rp 400 triliun tetapi tidak teralokasi untuk penguatan ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur, pengembangan dunia usaha, dan ekonomi masyarakat. Menurutnya, lebih dari 80% anggaran itu malah terpakai untuk melayani birokrasi daerah terutama belanja pegawai dan barang.
Keenam, birokrasi dan korupsi masih bermasalah. Menurut Suryo, kedua hal itu memberikan iklim usaha yang negatif apabila dibanding negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Indikasi itu tergambar pada proses perizinan yang memakan waktu berbulan-bulan sehingga menimbulkan biaya transaksi mahal bagi dunia usaha. "Dibanding negara lain yang hanya hitungan hari, Indonesia bakal kalah daya saing," ucapnya.
Ketujuh, peringkat investasi. Suryo mengatakan, pemerintah segera membenahi iklim investasi untuk tetap menahan aliran dana masuk di pasar usaha dalam negeri.
Kedelapan, pengangguran dan kemiskinan. Suryo mengatakan, laju pertumbuhan kesempatan kerja masih rendah, pekerja paruh waktu dan setengah pengangguran meningkat, jumlah warga miskin pun kian banyak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News