kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,55   2,12   0.24%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini strategi yang dilakukan Garuda Indonesia (GIAA) dalam menekan beban keuangan


Selasa, 19 Januari 2021 / 19:55 WIB
Ini strategi yang dilakukan Garuda Indonesia (GIAA) dalam menekan beban keuangan
ILUSTRASI. Pesawat Garuda Indonesia.


Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) melakukan sejumlah strategi dalam rangka menekan beban keuangan, mulai dari renegosiasi biaya sewa pesawat hingga restrukturisasi keuangan. Belum lama ini, Garuda telah menyepakati penyelesaian proses restrukturisasi kewajiban atau utang usaha terhadap PT Angkasa Pura 1 (Persero), PT Angkasa Pura 2 (Persero) dan PT Pertamina (Persero).

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, restrukturisasi telah selesai dilakukan dengan vendor dan bank. Menurutnya, restrukturisasi tersebut sebagai bagian dari komitmen sinergitas BUMN dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional, khususnya melalui dukungan terhadap akselerasi kinerja Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional.

"Restrukturisasi ini di harapkan dapat menunjang upaya penyehatan kondisi finansial Garuda Indonesia khususnya melalui optimalisasi performa likuiditas Perseroan," ujar Irfan kepada kontan.co.id, Selasa (19/1).

Mengacu laporan keuangan GIAA sampai dengan September 2020, utang usaha kepada Pertamina sebesar US$ 532,05 juta, kepada PT Garuda Angkasa sebesar US$ 34,02 juta, dan kepada AP 2 senilai US$ 27,21 juta.

Baca Juga: Dukung vaksinasi Covid-19, Garuda Indonesia luncurkan desain livery khusus

Ada juga utang usaha ke Perum LPPNPI senilai US$ 12,67 juta, dan utang usaha lain-lain senilai US$ 14,69 juta. Jumlah utang usaha ini total mencapai US$ 620,64 juta, naik dari periode September 2019 sebesar US$ 428,23 juta.

Sementara itu, ada pula rincian beban usaha dari pihak berelasi, dalam hal ini dengan Pertamina tercatat sebesar US$ 278,36 juta, lebih rendah dari periode yang sama di tahun sebelumnya US$ 759,33 juta.

Sedangkan, dengan AP 2, beban usaha sebesar US$ 21,65 juta, juga masih lebih rendah dari tahun sebelumnya US$ 39,81 juta. Adapun, dengan AP 1 sebesar US$ 8,68 juta dari sebelumnya US$ 22,71 juta.

Seperti diketahui, transaksi dengan Pertamina yakni transaksi pembelian bahan bakar pesawat khususnya rute domestik dan beberapa rute internasional sedangkan AP 1 dan AP 2 berkaitan dengan jasa kebandaraan. Sementara itu, transaksi dengan Perum LPPNPI berkaitan dengan jasa navigasi udara.

Pihaknya optimistis melalui sinergi ekosistem industri penerbangan yang semakin baik ini akan menjadi pondasi fundamental dalam mendukung keberlangsungan usaha yang lebih optimal bagi masa depan bisnis Garuda Indonesia ke depannya.

Sementara itu, Garuda juga mengestimasikan penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK) senilai Rp 1 triliun sebagai bagian dari Pemulihan Ekonomi Nasional akan segera dilaksanakan pada pekan terakhir Januari 2021 dengan tenor selama 3 tahun, termasuk upaya menegosiasikan biaya sewa pesawat.

Hal tersebut sejalan dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 20 November lalu yang telah menyetujui penerbitan maksimal nilai maksimal Rp 8,5 triliun dengan jangka waktu maksimal instrumen selama 7 tahun.

Namun, lanjut Irfan, penerbitan Rp 1 triliun dengan tenor 3 tahun terlebih dahulu merupakan hasil diskusi dengan sejumlah pihak yang meliputi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Keuangan, dan Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan mempertimbangkan kajian pada proyeksi keuangan dan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh oleh perseroan pada 2021.

"Negosiasi akan diberlakukan pada seluruh armada Garuda Indonesia Group karena Garuda Indonesia mengoperasikan sebanyak 142 pesawat dan anak usaha Citilink mengoperasikan 68 pesawat," kata Irfan

Menurutnya negosiasi biaya pesawat saat ini terus dilakukan komunikasi insentif dengan para lessor untuk menurunkan biaya sewa serta perpanjangan masa sewa yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi keuangan perseroan kedepannya. "Kami optimistis penerbitan OWK ini akan dapat menunjang fokus akselerasi kinerja Perseroan secara konsisten,” ungkap Irfan.

Irfan juga menyebut, Garuda tidak menutup kemungkinan untuk menerbitkan sukuk baru untuk pembiayaan kembali sukuk yang akan jatuh tempo pada 2023 mendatang. "Ya nanti kalau sudah jatuh tempo iya, kami harapkan bisa dilakukan," imbuh Irfan.

Seperti diketahui, GIAA melakukan restrukturisasi atas sukuk global senilai US$ 500 juta yang seharusnya jatuh tempo pada Juni 2020 menjadi diperpanjang hingga 2023. Akibat terdampak pandemi juga membuat Garuda Indonesia per September 2020 membukukan kerugian hingga US$ 1,07 miliar. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan pada kuartal III/2019 saat GIAA mencatatkan laba bersih US$ 122,42 juta.

Selanjutnya: Maskapai Terlilit Utang Ratusan Juta Dolar untuk Terbang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×