Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia Budi Harta Winata menyampaikan, keprihatinan mendalam terhadap derasnya arus impor baja konstruksi dari Vietnam dan China ke Indonesia.
Menurutnya, kondisi ini telah menyebabkan gangguan serius terhadap keberlangsungan industri baja nasional yang selama ini berupaya menjaga kualitas dan mematuhi regulasi pemerintah.
Baca Juga: Mitra Besi Baja Buka Toko Ritel Perdana di Sukabumi
"Sekarang ini kita kebanjiran produk impor dari Vietnam dan China. Hal ini sangat mengganggu keberlangsungan industri konstruksi baja dalam negeri," ujar Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7).
Budi menjelaskan banyak pelaku industri baja nasional kini kesulitan mendapatkan proyek karena kalah bersaing dari segi harga dengan baja impor.
Padahal, lanjutnya, harga bukan satu-satunya tolok ukur, sebab produk baja dalam negeri dirancang mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2020, yang mengatur bentuk, spesifikasi, hingga standar ketahanan terhadap gempa.
Menurut Budi, masih ada persepsi yang keliru bahwa produk baja lokal dianggap mahal. Padahal, kata dia, mahal tidak selalu identik dengan pemborosan, melainkan disesuaikan dengan ketentuan pemerintah, kebutuhan mutu dan keselamatan bangunan.
"Ada salah persepsi kalau konstruksi baja dalam negeri itu dibilang mahal. Bukan mahal, tapi memang secara bentuk dan spesifikasinya berbeda karena harus mengacu pada peraturan SNI tahun 2020 terkait desain hingga standar tahan gempa," ucap Budi.
Baca Juga: IISIA Waspadai Ancaman Ganda bagi Baja RI: BMAD China dan Tarif Trump
Budi menambahkan, untuk proyek-proyek pemerintah, saat ini penggunaan baja lokal masih relatif aman karena memang diwajibkan mengacu pada SNI.
Namun, ia mengungkapkan adanya penurunan permintaan yang signifikan akibat penghematan anggaran di sektor pemerintah.
"Saat ini terjadi penghematan anggaran yang membuat permintaan pekerjaan mengalami penurunan. Ketika pekerjaan dari pemerintah, terutama dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), tidak ada, kita tentu berharap dari proyek-proyek swasta," katanya.
Namun, dari awal tahun hingga pertengahan 2025 ini, Budi menyebut belum ada pekerjaan signifikan yang diterima, baik dari sektor pemerintah maupun swasta.
Kondisi ini semakin diperparah oleh keberadaan baja impor yang tidak mengikuti standar nasional, namun tetap digunakan karena harganya lebih murah.
"Dari Januari sampai sekarang, belum ada pekerjaan dari pemerintah, sedangkan pekerjaan dari swasta juga tidak ada karena kita kalah dengan produk baja dari Vietnam dan China. Spesifikasi produk mereka lebih kecil, tidak sesuai SNI, dan ini sangat mengganggu produksi baja dalam negeri," lanjut Budi.
Baca Juga: Prospek Industri Baja Dibayangi Dampak BMAD China dan Tarif Resiprokal AS
Budi menyoroti ketidakadilan dalam penerapan regulasi antara produk baja lokal dan impor. Ia mengusulkan agar pemerintah menegakkan peraturan secara konsisten terhadap semua produk baja yang masuk ke pasar domestik.
"Mestinya harus ada peraturan yang sama biar adil. Jangan kita konstruksi baja lokal harus mengikuti aturan, sedangkan yang dari luar negeri itu tidak pakai aturan itu," sambung Budi.