Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri sektor besi dan baja dalam negeri memiliki strategi masing-masing untuk menghadapi keputusan Presiden AS, Donald Trump terkait kenaikan tarif impor baja dan aluminium menjadi 50% dari 25% terhitung mulai Rabu, 4 Juni 2025 kemarin.
Satu-satunya perusahaan plat merah di industri baja Krakatau Steel (KRAS) misalnya, menyikapi kebijakan baru ini dengan optimisme dan strategi adaptif.
Menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk/KRAS, Akbar Djohan, diversifikasi pasar menjadi prioritas utama perseroan. Yaitu, dengan memperkuat jaringan pasar di ASEAN, Asia Timur, dan Timur Tengah, serta berupaya mengurangi ketergantungan pada pasar yang rawan perubahan kebijakan proteksionis.
"Pasar-pasar ini memiliki kebutuhan baja yang terus tumbuh, seiring dengan perkembangan infrastruktur dan industri di kawasan," ungkap Akbar kepada Kontan beberapa waktu lalu.
Selain itu, Krakatau Steel akan tetap fokus mengembangkan produk baja bernilai tambah tinggi. Inovasi produk, seperti baja khusus untuk otomotif, konstruksi berkelanjutan, dan teknologi tinggi, dapat meningkatkan daya saing serta membuka peluang di segmen pasar premium yang lebih stabil dan kurang sensitif terhadap harga.
Baca Juga: Tarif Impor Baja ke AS Naik 50%, Industri Dalam Negeri Bersiap Pergeseran Pasar
Dari segi penjualan, Akbar bilang, KRAS wajib memenuhi kebutuhan baja dalam negeri. Sehingga porsi penjualan domestik tetap menjadi target utama perseroan. Adapun untuk penjualan ekspor dilakukan sebagai balancing order maupun untuk memaintain pangsa pasar serta brand image produk Krakatau Steel di luar negeri.
"Rata-rata porsi penjualan domestik adalah sekitar 80% untuk mencukupi kebutuhan domestic dan sisanya sekitar 20% untuk penjualan export. Sejauh ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir belum ada inquiry ekpsor ke pasar Amerika," jelasnya.
Adapula emiten baja, PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) yang mengatakan kenaikan tarif impor baja menjadi tantangan baru bagi pelaku industri baja global, termasuk Indonesia.
"Dari perspektif ISSP, kami memandang bahwa kebijakan ini justru semakin mempertegas pentingnya kesetaraan daya saing antarnegara pengekspor baja," kata Corporate Secretary & Investor Relations ISSP, Johannes Edward.
Menurutnya, dengan diberlakukannya tarif yang lebih seragam, setidaknya sekarang terjadi penyeimbangan ulang dalam hal akses pasar, meskipun tantangan tetap ada.
Johannes menambahkan, volume ekspor ISSP ke AS sangat kecil dan bukan pasar utama, sehingga dampaknya terhadap kinerja ISSP secara keseluruhan cukup minimal.
Baca Juga: Tarif Baja dan Aluminium Mulai Berlaku, Begini Prospek Harga Logam Industri
"Kami tetap fokus memperkuat pasar domestik dan menjajaki pasar-pasar lain yang lebih terbuka, termasuk Asia Tenggara dan Timur Tengah," tutupnya.
Kemudian, PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) yang mengungkapkan hal senada. Menurut Fedaus, Presiden Direktur GGRP dampak langsung dari kebijakan tarif impor baja oleh pemerintahan Trump terhadap ekspor besi-baja Indonesia ke Amerika Serikat relatif kecil.
"Mengacu pada data IISIA, ekspor baja Indonesia ke AS pada tahun 2025 masih berada di bawah 1 persen dari total ekspor nasional. Oleh karena itu, pengaruhnya terhadap kelangsungan ekspor baja Indonesia, termasuk dari GGRP, cenderung minim," kata dia.
Namun demikian, Fedaus menambahkan perseroan akan terus memantau dinamika perdagangan global secara cermat untuk mengantisipasi potensi dampak tidak langsung yang mungkin muncul terhadap pasar regional dan domestik.
Baca Juga: Ekspor Besi, Baja dan CPO Kompak Naik Sepanjang Januari–April 2025
Disisi lain, secara spesifik, GGRP tidak menjadikan pasar Amerika Serikat sebagai fokus utama dalam strategi ekspor.
"Lebih dari 90 persen penjualan baja kami saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik atau dalam negeri," katanya.
Meski begitu, hal lain yang perlu lebih diwaspadai justru adalah dampak tidak langsungnya terhadap pasar Indonesia, khususnya dari negara-negara seperti China yang mungkin akan mengalihkan produknya ke pasar dengan regulasi impor yang lebih longgar.
"Hal ini dapat memperburuk kondisi industri baja nasional yang saat ini utilisasi kapasitasnya hanya berada di kisaran 50-60 persen. Padahal agar industri baja tetap berkelanjutan dan efisien, utilisasi idealnya seharusnya adalah di kisaran 80 persen," jelasnya.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Gandeng Delong Steel Bangun Pabrik Baru di Lahan 500 Hektare
Selanjutnya: Prabowo Tak Reshuffle Kabinet, Sekjen Golkar: Mungkin Masih Evaluasi
Menarik Dibaca: Melemah Hari Keempat, IHSG Ditutup Turun 0,68% Pada Senin (16/6)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News