Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pelaku usaha di sektor hulu migas dikabarkan meminta penyesuaian harga gas di hulu karena mempertimbangkan sejumlah faktor, utamanya menjaga produksi pada lapangan yang sudah tua (mature).
Meski wajar meminta kenaikan harga, pihak industri pembeli gas meminta agar pemerintah memberikan insentif untuk menjaga keseimbangan dengan daya beli konsumen.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal menjelaskan, harga jual gas sudah disesuaikan dengan keekonomian lapangan masing-masing, tidak ada lapangan yang beroperasi merugi.
Moshe menjelaskan, karakteristik penjualan minyak dan gas berbeda. Kalau penjualan minyak, mengikuti aturan Indonesian Crude Price (ICP) dari Kementerian ESDM yang berdasarkan pergerakan harga indeks Brent. Sehingga jika harga minyak dunia naik, justru menjadi berkah bagi KKKS yang menjual minyak mentah.
Baca Juga: Dikabarkan Minta Penyesuaian Harga Gas dari Blok Corridor, Ini Jawaban Bos Medco
“Namun, di sektor gas, harga gas disesuaikan dengan keekonomian lapangan masing-masing,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (15/10).
Maka itu, lanjut Moshe, bagi KKKS yang merasa perlu penyesuaian harga gas karena mempertimbangkan kondisi wilayah kerja (WK)-nya, tentu akan mengajukannya permintaannya pada Pemerintah.
Chairman Indonesia Gas Society (IGS), Aris Mulya Azof menyatakan, ada beberapa pemicu yang membuat KKKS meminta penyesuaian harga pada kontrak yang telah habis jangka waktunya. Misalnya saja lapangan gas sudah cukup tua dan memerlukan teknologi dan biaya produksi yang cukup signifikan.
Aris menjelaskan, untuk menjaga tingkat keseimbangan dengan daya beli konsumen, beberapa hal dapat dilakukan oleh pemerintah. Selain penetapan harga gas bumi tertentu, pemerintah juga bisa menerapkan beberapa insentif di sektor perpajakan dan sektor lainnya.
“Persoalannya, penyesuaian gas di hulu jika tidak disertai dengan insentif dari pemerintah tentunya akan berdampak secara langsung pada konsumen,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (15/10).
Dia mencontohkan, kondisi yang terkini dialami di sisi midstream industry, yakni distribusi gas, dengan adanya regulasi HGBT dinilai sangat memberatkan pelaku usaha dikarenakan tidak adanya insentif yang diberikan oleh Pemerintah.
Baca Juga: Jurus Geber Proyek Jargas, Gandeng Swasta Hingga Rencana Patok Harga Gas Hulu
Hal ini berdampak pada rencana investasi yang akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur hilir sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan pemanfaatan gas bumi.
Bagi IGS, insentif yang disiapkan pemerintah dapat menyesuaikan di sisi hulu dan konsumen midstream hingga hilir. Tentu tidak lupa tetap menghitung dampaknya bagi keuangan negara secara makro dan mikro.
Aris menjelaskan, insentif yang akan diberikan di sisi hulu perlu dipertimbangkan dampaknya bagi penerimaan negara serta keekonomian bagi KKKS.
Kemudian, dari sisi konsumen atau industri, dapat dilihat lebih jauh kegunaan dari gas bumi tersebut. Apakah sebagai bahan baku atau sebagai bahan bakar. Kemudian gas tersebut digunakan untuk kebutuhan domestik ataukah ekspor.
“Jika digunakan untuk domestik bisa diperinci lagi, apakah digunakan untuk produk kategori subsidi seperti pupuk atau bukan. Jika dalam kategori subsidi tentunya produk dari industri tersebut yang nantinya dapat kompensasi dari pemerintah dalam bentuk subsidi,” terangnya.
Jika produk industri diperuntukkan untuk ekspor, agar memiliki daya saing dengan industri sejenis di pasaran, dapat juga diberikan insentif di sektor perpajakan dan lainnya.
“Sehingga secara makro ekonomi Indonesia perlu dikaji lebih lanjut pengurangan pendapatan negara dari sektor migas akibat pemberian insentif di sisi hulu dengan multiplier effect yang dihasilkan oleh industri seperti pertambahan penyerapan tenaga kerja di sisi hilir,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News