Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena “perang diskon” yang kembali merebak menjelang akhir tahun dinilai sebagai strategi jangka pendek pabrikan dan dealer untuk menggerakkan pasar otomotif yang sedang lesu.
Namun, jika strategi banting harga ini terus berlangsung tanpa perubahan pola, pelaku industri berisiko menghadapi tekanan margin, rusaknya persepsi harga, hingga turunnya nilai jual kembali kendaraan di pasar.
Baca Juga: Perang Diskon Mobil Memanas, Daihatsu Pilih Perkuat Value Chain
Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu menjelaskan bahwa promosi besar-besaran menjelang akhir tahun merupakan taktik klasik yang kerap dipakai agen pemegang merek (APM) dan dealer untuk mendongkrak penjualan di tengah lemahnya daya beli masyarakat.
“Untuk jangka pendek, strategi ini memang positif karena mampu menstimulasi antusiasme konsumen yang sebelumnya menunda pembelian. Biasanya, dealer juga termotivasi karena bisa memperoleh bonus dari APM bila menjual melebihi kuota akhir tahun,” ujar Yannes kepada Kontan.co.id, Selasa (28/10/2025).
Namun, Yannes menilai strategi tersebut tidak menyentuh akar persoalan lemahnya pasar otomotif, yakni stagnasi daya beli dan ketimpangan antara kenaikan harga mobil dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat.
Baca Juga: Penjualan Inchcape GWM Tumbuh hingga September, Ditopang SUV Tank 300 Diesel & ORA 03
Karena itu, menurutnya, diskon besar seharusnya dikombinasikan dengan strategi lain yang lebih berkelanjutan, seperti program cicilan ringan, tenor panjang, hingga skema tukar tambah (trade-in) untuk menekan hambatan konsumen membeli mobil baru.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa perang diskon berkepanjangan justru bisa membawa risiko jangka panjang bagi industri otomotif nasional. Salah satunya adalah rusaknya persepsi harga di mata konsumen.
“Ketika mobil baru dijual dengan potongan harga puluhan juta rupiah, pasar akan menilai bahwa harga asli produk tersebut sebenarnya adalah harga setelah diskon. Dampaknya, resale value atau nilai jual kembali kendaraan akan anjlok, bahkan untuk merek-merek yang selama ini dikenal kuat,” jelasnya.
Yannes menilai kondisi ini bisa menjadi “mimpi buruk finansial” bagi konsumen yang telah membeli mobil dengan harga normal, terutama dari kalangan menengah.
Dalam jangka panjang, pola promosi agresif seperti ini dapat menggerus margin industri, menekan dealer kecil, dan melemahkan inovasi desain maupun teknologi, karena produsen terlalu fokus pada persaingan harga.
Baca Juga: Pengamat: Program Mobil Nasional Perlu Sentuh Kebutuhan Transportasi Rakyat
“Jika perang diskon ini terus dibiarkan tanpa kontrol, efek bola saljunya akan menjalar ke pasar mobil bekas. Pedagang mobil second akan terpaksa menurunkan harga beli dan jual agar tetap kompetitif dengan harga mobil baru yang didiskon. Nilai aset kendaraan pun semakin tergerus,” ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut berpotensi mengikis daya tarik investasi konsumen terhadap kendaraan roda empat.
“Kita bisa menuju fase no more interesting resale value, di mana mobil tidak lagi dianggap aset bernilai, melainkan konsumsi murni. Ini bisa mengubah ekosistem otomotif secara struktural,” tandas Yannes.
Selanjutnya: Nilai Tukar Yen Menguat Menjelang Pembicaraan PM Jepang Takaichi dan Trump
Menarik Dibaca: Kampanye Percaya This Is Your Ajak Perempuan Yakin pada Diri Sendiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













